Tradisi yang dimaksud di sini bukan sebagaimana sering disalahpahami dengan adat kebiasaan (custom, habit), pola pemikiran warisan atau semacamnya, namun dalam pengertiannya sebagai yang suci (sacred) serta lebih terkait dengan pengertian yang secara etimologi terkait dengan transmisi yang mencakup di dalamnya pengertian transmisi pengetahuan, perbuatan, teknik-teknik, hukum-hukum, bentuk, dan elemen- elemen lainnya baik secara oral maupun tertulis.
Tradisi yang dimaksud di sini adalah kebenaran-kebenaran (truths) atau prinsip-prinsip utama (principes) yang bersumber dari Yang Asal Ilahi (the Divine Origin) diwahyukan kepada umat manusia melalui para pembawa pesan, nabi, avatar, logos atau agen penyampai yang lainnya melalui percabangan dan aplikasi yang beragam, yang mencakup hukum-hukum dan struktur sosial, seni, simbol-simbol, sains, dan tentunya mencakup ‘Pengetahuan Tertinggi’ sebagai pencapaian puncaknya. Secara singkat bisa dikatakan bahwa tradisi adalah segala sesuatu yang mengikat manusia kepada surga, yang mengikat manusia dengan ‘Asal’-nya.
Pandangan yang terikat dengan nilai-nilai transenden inilah yang ‘melahirkan’ pemahaman bahwa sains (scientia) dianggap sah dan mulia hanya selama sains tunduk (disubordinasikan) kepada kearifan (sapientia). Kebangkitan spiritualits agama inilah yang seyogyanya membawa manusia kembali kepada jalan spiritual dan religiusitas untuk kemerdekaan, kebebasan, dan kemanusiaan universal. Inilah yang kemudian ingin penulis teliti dimana revitalisasi semangat tradisi oleh Nasr menjadi kritik terhadap sains modern yang telah kehilangan nilai-nilai transenden.