Aditya, suaminya, adalah lelaki yang hidup dalam kata-kata dan teori, namun tak pernah menyentuh jiwa Kirana yang merindu. Di lantai atas vila, ia mengetik esai tentang tubuh, tapi di bawah kabut, tubuh Kirana sendiri mulai berbicara dengan bahasa yang tak bisa ia abaikan. Sosok Mamang Asep, pekerja kebun dengan tangan kasar dan mata yang menyimpan bara, muncul seperti bayangan yang tak bisa diusir. Setiap geraknya—mengangkat kayu, menyiram tanah—mengundang mata Kirana untuk mencuri pandang, membuat darahnya berdesir dengan cara yang sudah lama terlupa.
Hujan turun deras di Puncak, membasahi segalanya, termasuk rahasia yang mulai retak di hati Kirana. Di sudut-sudut vila, di saung tua yang diterpa rintik air, ia menemukan dirinya terjerat dalam tarian yang tak pernah ia pelajari—tarian antara rindu dan dosa. Sentuhan sekilas, napas yang terlalu dekat, dan tatapan yang terlalu lama menjadi bara yang menyala pelan, mengancam membakar segala yang ia tahu tentang dirinya sendiri. Namun, setiap langkah menuju kehangatan itu juga membawanya lebih dekat ke cermin, tempat ia harus menghadapi bayangan perempuan yang tak lagi ingin diam.
Kabut tak hanya menyelimuti bukit, tapi juga hati Kirana, menyembunyikan pertanyaan yang kini menghantuinya: sampai kapan ia bisa menahan diri dari menyerah pada panggilan tubuhnya? Di antara pohon teh yang bergoyang ditiup angin, ia merasakan dunia di sekitarnya hidup—bernapas, bergetar, mengundang. Tapi di dalam vila, ada suara lain: suara Aditya yang tak pernah bertanya, dan suara kakaknya, Hilda, yang datang membawa cermin kebenaran. Setiap malam, Kirana berdiri di ambang pintu, memilih antara tetap menjadi istri yang patuh atau melangkah ke kebun, tempat dim Roscoe Reid menawarkan untuk menjelajahi dunia yang liar dan penuh gairah itu.
Di Puncak Nafsu bukan sekadar kisah tentang hasrat yang terbakar, tapi juga tentang perempuan yang belajar mendengar suara tubuhnya di tengah keheningan yang menggigit. Ketika kabut akhirnya terangkat, apakah Kirana akan menemukan kebebasan dalam pelukan yang terlarang, atau justru terjebak dalam puing-puing rahasia yang tak bisa disembunyikan? Di setiap halaman, ada undangan untuk menyelami dunia dimana batas-batas moral diuji, dan setiap sentuhan meninggalkan bekas yang tak pernah pudar. Akankah Kirana memilih untuk tetap terkurung dalam dinding vila, atau akan ia menyerah pada nafsu yang memanggilnya untuk menjadi utuh?
Contents:
Vila di Atas Awan—1
Pria Tanpa Sentuhan—17
Aroma Tanah Basah—35
Angin dan Peluh—51
Malam Tanpa Suara—65
Percikan Pertama—77
Di Balik Dinding Kayu—87
Pelukan di Tengah Kabut—99
Tubuh yang Terbangun—109
Tubuh di Balik Selimut—121
Rahasia di Balik Kabut—133
Liar Seperti Hutan—145
Percakapan Setelah Peluh—155
Vila yang Jadi Penjara—165
Menyatu dengan Bumi—177
Rahasia yang Retak—189
Pilihan yang Terluka—199
Patah dan Melepas—211
Menjadi Perempuan Seutuhnya—223