***
“Satu kalimatnya, sebuah bisikan perpisahan yang kejam sekaligus sopan, terasa lebih menghina daripada makian mana pun.” (Bab 1, Guncangan di Gerbong Terakhir)
“Aku tidak membayangkan Mas Dharma. Aku membayangkan pria asing itu. Aku membayangkan penisnya yang besar dan keras, tangannya yang nakal, dan arogansinya yang memabukkan.” (Bab 2, Ranjang yang Dingin)
“Di sanalah aku pertama kali melihatnya. Yose. Ia tidak setampan pria di KRL, tidak seberwibawa Mas Dharma. Ia biasa saja. Tapi ada sesuatu pada senyumnya yang tipis dan matanya yang teduh, sesuatu yang membuatku merasa... aman.” (Bab 3, Hari Pertama di Lorong Harapan)
“Cincin kawin yang melingkar di jari manisnya adalah sebuah benteng yang tidak berani ia langkahi. Sebuah pengingat menyakitkan bahwa wanita secantik dan serapuh itu sudah menjadi milik orang lain.” (Bab 4, Sepasang Mata yang Memperhatikan)
“Tubuhku terpuaskan hingga ke titik puncak, tapi anehnya, jiwaku terasa lebih lapar, lebih kosong dari sebelumnya.” (Bab 5, Pelampiasan yang Hampa)
“Di sanalah kami berdiri, di dalam kotak besi yang pengap, terputus dari dunia luar. Dua orang asing yang berbagi rahasia kecil, kini terpaksa berbagi ruang, waktu, dan ketegangan yang pekat.” (Bab 6, Terjebak di Antara Kardus)
“Ini bukan seperti dengan Ridwan. Ini bukan penaklukan. Ini adalah penyatuan dua jiwa yang sama-sama tersesat.” (Bab 7, Hasrat di Balik Pintu Gudang)
“Aku telah menghancurkan wanita ini. Aku telah menyeretnya ke dalam lumpur yang sama denganku. Apa yang telah aku lakukan?” (Bab 8, Pagi yang Canggung)
“Risiko ketahuan itu, bahaya itu, ternyata terasa seperti afrodisiak paling kuat.” (Bab 9, Curi-Curi di Ruang Ganti)
“Malam itu, ranjang itu bukan lagi milikku dan Dharma. Itu menjadi milikku dan Yose.” (Bab 10, Mengambil Alih Ranjang Tuan Rumah)
“Amarah tidak ada. Sakit hati pun tidak. Yang ada hanyalah keheningan yang dingin dan sebuah kepastian yang membebaskan. Permainan ini akan segera berakhir. Dan aku, akan menjadi pemenangnya.” (Bab 11, Jejak di Ranjang Kami)
“Aku tidak pernah mau punya anak darimu, Anggun. Dan kalau kamu terus-terusan merepotkan seperti ini, mungkin memang lebih baik kita tidak usah bersama lagi.” (Bab 12, Dinding yang Semakin Tinggi)
“Setiap hentakan adalah sebuah protes terhadap takdir. Setiap desahan adalah sebuah teriakan yang tak bersuara.” (Bab 13, Ciuman Rasa Perpisahan)
“Aku telah memilih sangkar emas ini daripada kebebasan yang sempat kurasakan di pelukan Yose. Aku telah menukar gairah yang nyata dengan keamanan yang palsu.” (Bab 14, Sangkar Emas di Kota Pahlawan)
“Ini bukan kebetulan. Ini bukan takdir. Ini adalah sebuah pilihan. Pilihan nekat yang ia buat.” (Bab 15, Takdir di Persimpangan Jalan)
“Sangkar emasku tidak dihancurkan. Pintunya hanya dibukakan lebar-lebar untukku.” (Bab 16, Kesepakatan Tiga Arah)
“Ini bukanlah akhir yang kuimpikan. Ini jauh lebih rumit, lebih berantakan, dan lebih nyata. Ini adalah fajar yang baru. Dan aku siap untuk menyambutnya.” (Bab 17, Fajar yang Baru)
***
Di balik seragam minimarket yang kaku dan senyum sopan yang ia pasang setiap hari, Anggun menyimpan sebuah kekosongan yang menganga. Pernikahannya adalah sebuah ranjang dingin, dan suaminya adalah orang asing yang tidur di sampingnya. Ia pikir hidupnya akan selamanya menjadi sebuah rutinitas yang hampa, hingga suatu sore di gerbong KRL yang penuh sesak, sebuah sentuhan tak diundang dari seorang pria misterius justru menyalakan kembali api yang telah lama padam di dalam dirinya. Api itu menuntut untuk dibebaskan, membawanya pada sebuah perjalanan gelap yang tak pernah ia bayangkan.
Yose melihatnya sebagai wanita rapuh yang butuh diselamatkan. Seorang istri yang matanya menyimpan kesedihan, yang tangannya gemetar saat mereka tak sengaja bersentuhan di antara rak-rak belanja. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga jarak, untuk menghormati cincin yang melingkar di jari manis wanita itu. Namun, ketika takdir mengunci mereka berdua di dalam gudang yang sempit dan pengap, semua janji itu menguap bersama napas mereka yang terengah. Malam itu, ia akan menemukan bahwa wanita yang ingin ia selamatkan ternyata memiliki sisi liar yang jauh lebih berbahaya.
Di satu sisi, ada kelembutan yang ditawarkan Yose—sebuah keintiman emosional yang menyembuhkan jiwa Anggun yang terluka. Namun di sisi lain, ada bayangan Ridwan, sang eksekutif misterius dari kereta. Ia menawarkan sesuatu yang berbeda: gairah yang buas, dominasi yang memabukkan, dan kenikmatan tanpa nama yang murni fisik. Terjebak di antara dua pria, Anggun dipaksa untuk menghadapi pertanyaan paling menakutkan: Apakah yang sebenarnya ia cari? Sebuah cinta yang tulus, atau sekadar pelampiasan nafsu yang selama ini terpendam?
Sementara Anggun tersesat dalam labirin hasratnya, ia tidak menyadari bahwa suaminya, Dharma, bukanlah pria dingin dan bodoh seperti yang ia kira. Dari balik topeng keacuhannya, Dharma mengamati setiap gerak-gerik Anggun. Ia tahu. Ia melihat jejak-jejak pengkhianatan di atas ranjang mereka. Namun, penemuan itu tidak memicu amarah, melainkan sebuah rencana yang dingin dan penuh perhitungan. Karena Dharma sendiri menyimpan sebuah rahasia yang jauh lebih kelam, sebuah rahasia yang akan mengubah permainan ini selamanya.
Hasrat di Balik Pintu Gudang Minimarket adalah sebuah kisah tentang kebangkitan sensual seorang wanita yang terperangkap dalam sangkar emas. Sebuah perjalanan menembus batas-batas moralitas, di mana cinta, nafsu, dan kebohongan berjalin berkelindan. Ketika semua topeng akhirnya terbuka, siapakah yang akan menjadi pemenang, dan siapa yang akan hancur berkeping-keping?
Contents:
Guncangan di Gerbong Terakhir —1
Ranjang yang Dingin—15
Hari Pertama di Lorong Harapan—35
Sepasang Mata yang Memperhatikan—51
Pelampiasan yang Hampa—63
Terjebak di Antara Kardus—81
Hasrat di Balik Pintu Gudang—97
Pagi yang Canggung—115
Curi-Curi di Ruang Ganti—125
Mengambil Alih Ranjang Tuan Rumah—139
Jejak di Ranjang Kami —153
Dinding yang Semakin Tinggi—165
Ciuman Rasa Perpisahan—177
Sangkar Emas di Kota Pahlawan—191
Takdir di Persimpangan Jalan—203
Kesepakatan Tiga Arah—217
Fajar yang Baru—231