“Itu cuma bantuan. Dan malam ini juga sama. Ini bukan perasaan. Ini cuma... terapi.”
Ia berhenti sejenak, lalu tangannya yang bebas bergerak meraih tas tangannya.
Ia mengeluarkan sebuah bungkusan persegi kecil berwarna perak. Sebuah kondom bergerigi merk Durex. Ia meletakkannya di meja kopi di antara kami. Benda kecil itu berkilauan di bawah cahaya lampu, tampak seperti sebuah tiket pengampunan.
“Ini bukan selingkuh selama kita pakai pengaman,” katanya, suaranya kini nyaris tak terdengar, sebuah bisikan iblis yang paling merdu.
“Nggak ada cairan yang tertukar. Nggak ada ikatan. Nggak ada konsekuensi. Hanya kulit bertemu kulit. Hanya cara untuk membuat tubuh Mas lupa pada rasa sakit di kepala Mas.” (Bab 6)
***
Bagi Baskara Adhitama, hidup adalah sebuah garis lurus yang telah ia gambar dengan sempurna. Sebuah karier yang menanjak di puncak gedung-gedung Jakarta, sebuah apartemen yang hangat untuk pulang, dan seorang istri yang ia cintai lebih dari apa pun. Dunianya tertata rapi, aman, dan nyaris tanpa cela. Namun, di balik dinding kaca kantornya, di antara tumpukan laporan dan rapat yang tak berkesudahan, ia tidak menyadari ada sebuah retak setipis helai rambut dalam kesempurnaannya—sebuah kerapuhan yang hanya bisa dilihat oleh mata yang paling jeli.
Rani Kirana bukan sekadar bawahan yang efisien. Di balik profesionalismenya yang dingin, ia adalah seorang pengamat ulung. Ia melihat apa yang tidak dilihat orang lain: kelelahan di mata atasannya, kekosongan di balik senyumnya yang ramah. Dengan tatapan yang bisa menelanjangi kerapuhan seorang pria dan senyum yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, Rani tahu bahwa di dalam setiap benteng yang paling kokoh sekalipun, selalu ada sebuah gerbang yang terlupa untuk dikunci.
Semuanya dimulai bukan dengan sebuah permintaan, melainkan dengan sebuah tawaran. Sebuah "bantuan tulus" di tengah malam saat kantor telah sunyi dan hujan membasahi jendela. Di bawah cahaya lampu yang dingin, kehangatan bisa lahir dari tempat yang tak terduga. Sebuah sentuhan yang tak disengaja di pundak yang tegang, aroma parfumnya yang manis memabukkan, dan bisikan lembut di dekat telinga yang menawarkan kelegaan. Bagi Baskara, itu adalah sebuah tarian terlarang yang ia tidak tahu bagaimana cara menolaknya.
Setiap kebohongan yang ia ucapkan pada sang istri terasa seperti bara api yang membakar lidahnya. Setiap pelukan hangat di rumah terasa kontras dengan panasnya adrenalin dari bahaya yang ia temui di luar. Baskara mulai hidup dalam dua dunia, membangun sebuah logika bengkok di dalam kepalanya untuk membenarkan setiap langkahnya yang semakin jauh tersesat. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini bukanlah perselingkuhan, melainkan sebuah terapi—sebuah pelepasan yang ia butuhkan untuk bertahan.
Namun, godaan memiliki caranya sendiri untuk menagih janji. "Godaan Rani, Bawahanku yang Cantik" adalah sebuah perjalanan sensual ke dalam pikiran seorang pria yang terperangkap di antara cinta dan nafsu, antara kesetiaan dan pengkhianatan. Seberapa dalam seorang pria bisa jatuh saat seorang wanita dengan sengaja menunjukkan jalan menuju jurang? Dan apa yang terjadi ketika pintu terlarang itu tidak hanya diketuk, tapi didobrak hingga hancur berkeping-keping? (Bab 7 Rasionalisasi Gairah)
Contents:
1. Prolog: Gema Ubud—1
2. Mata Sang Pemburu—13
3. Retak di Dinding Kaca—29
4. Hujan di Bulan November—43
5. Dosa Pertama—67
6. Pintu yang Terbuka—83
7. Rasionalisasi Gairah—99
8. Sandiwara di Meja Makan—119
9. Perjalanan ke Puncak—135
10. Kabut di Atas Bukit—151
11. Turun Gunung—169
12. Babak Final di Lembang—183
13. Penyerahan Diri Total—197
14. Gema di Kawah—213
15. Epilog: Aroma Kopi Pagi—227