***
“Malam ini, aku bukan istri yang terabaikan. Aku adalah seorang dewi lapar yang akan melahap mangsanya.” (Bab 1, Pesta Liar Sang Bidadari)
“Dinding tipis ini adalah kutukan sekaligus berkah. Ia memenjarakanku dalam kesepian, namun juga memberiku secuil fantasi liar untuk dipegang erat-erat di tengah malam yang dingin.” (Bab 2, Suara Desahan di Dinding Tipis)
“Wanita di hadapanku ini adalah antitesis dari fantasi liarku. Ia adalah kelembutan, kehangatan, dan senyum manis yang bisa menenangkan badai. Namun aku tahu, di balik senyum itu, ada desahan yang sanggup meruntuhkan duniaku.” (Bab 3, Senyum Manis di Pintu Sebelah)
“Ini bukan sekadar seks. Ini adalah sebuah inisiasi. Sebuah pembaptisan ke dalam dunia kenikmatan yang selama ini hanya ada dalam mimpiku yang paling liar.” (Bab 4, Nasi Goreng Pembuka Gairah)
“Setiap sentuhannya adalah dosis, setiap ciumannya adalah candu. Aku tahu racun ini perlahan membunuhku, menggerogoti mimpiku, masa depanku. Tapi demi surga sesaat yang ia tawarkan, aku rela menenggaknya hingga tetes terakhir.” (Bab 5, Racun yang Terus Kusesap)
“Iwan adalah cerminku. Di matanya yang memuja, aku melihat versi diriku yang kuinginkan: seorang dewi gairah, bukan istri yang kesepian. Aku tahu aku egois. Tapi di neraka pernikahanku, keegoisan adalah satu-satunya pelampung yang kumiliki.” (Bab 6, Topeng di Balik Pernikahan)
“Dunia di luar kamarku terus berputar dengan aturan-aturannya yang membosankan: tanggung jawab, tenggat waktu, masa depan. Tapi duniaku telah menyusut menjadi seukuran kasur, dengan Airin sebagai satu-satunya matahari yang mengorbit di dalamnya.” (Bab 7, Dunia yang Kutinggalkan)
“Suara di seberang telepon itu adalah suara realita. Dingin, tanpa ampun, dan datang untuk menagih semua waktu yang telah kugadaikan demi kenikmatan sesaat.” (Bab 8, Panggilan yang Menghancurkan)
“Aku akan membuatnya ingat. Aku akan mengukir namaku di setiap inci tubuhnya, di setiap desahannya, hingga ia lupa bagaimana cara bernapas tanpa menyebut namaku.” (Bab 9, Jerat Terakhir Sang Dewi)
“Di tengah keheningan pasca-klimaks, kami akhirnya melihat satu sama lain untuk pertama kalinya: bukan sebagai dewi dan pemuja, melainkan sebagai dua orang egois yang sama-sama tersesat, mencari pelarian di tubuh yang salah.” (Bab 10, Dua Jalan yang Terpisah)
“Surat itu bukan untuknya saja, tapi juga untukku. Sebuah penutup, sebuah janji pada diriku sendiri.” (Bab 11, Langkah Pertama Menuju Pagi)
“Gerbang itu tidak lagi tampak seperti monster yang akan menelanku, melainkan seperti sebuah pintu yang menantangku untuk masuk.” (Bab 12, Memungut Kepingan Mimpi)
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya... Semuanya masih buram. Tapi satu hal yang jelas, pertemuanku dengan Bima di tepi kolam kemarin bukanlah sebuah akhir. Itu adalah sebuah awal.” (Epilog, Gema Masa Lalu di Tepi Kolam)
***
Di sebuah sudut kota Bandung yang ramai, Iwan menjalani hidupnya dalam warna kelabu. Sebagai seorang mahasiswa tanpa tujuan, hari-harinya hanyalah repetisi monoton dari kuliah yang membosankan dan kerja paruh waktu yang melelahkan. Satu-satunya misteri dalam hidupnya datang dari balik dinding tipis kamar kosnya; desahan-desahan tertahan di tengah malam, suara wanita yang seolah menyimpan rahasia kelam sekaligus kenikmatan yang tak terhingga. Ia tidak tahu bahwa rasa penasarannya akan menjadi awal dari kejatuhannya yang paling manis.
Lalu datanglah Airin, tetangga baru dengan senyum sehangat mentari pagi dan tatapan mata yang menyimpan kedalaman lautan. Di permukaan, ia adalah sosok istri yang sempurna, lembut dan perhatian. Namun di balik topeng keibuannya, bersemayam seorang wanita yang lapar akan gairah, terperangkap dalam sangkar emas pernikahannya yang hancur. Saat matanya pertama kali tertuju pada Iwan yang polos dan kesepian, ia tidak hanya melihat seorang tetangga, melainkan sebuah mangsa yang sempurna untuk mengisi kekosongan jiwanya.
Semua berawal dari sepiring nasi goreng, sebuah balasan budi yang dengan cepat berubah menjadi pelajaran intim tentang gairah. Airin membuka sebuah dunia baru untuk Iwan, dunia di mana sentuhan adalah bahasa dan desahan adalah musik. Dinding tipis yang semula menjadi pemisah kini menjadi saksi bisu perselingkuhan mereka. Iwan, yang selama ini haus akan perhatian, menenggak “racun” manis itu tanpa ragu, tak menyadari bahwa setiap tegukannya menyeretnya semakin dalam ke dalam jerat nikmat yang tak akan pernah melepaskannya.
Ketika mimpi dan masa depan mulai terkikis oleh obsesi, Iwan mulai sadar bahwa wanita yang ia anggap sebagai penyelamat sesungguhnya adalah sipir penjaranya yang paling indah. Setiap kenikmatan yang Airin berikan datang dengan harga yang mahal: kewarasannya, tujuannya, dan jiwanya. Di balik bisikan-bisikan cintanya, ada agenda tersembunyi seorang manipulator ulung yang menolak untuk melepaskan satu-satunya sumber kebahagiaan yang ia miliki, bahkan jika itu harus menghancurkan hidup sang pemuda.
Seberapa dalam seorang pria bisa tenggelam demi sebuah kenikmatan? Saat jerat itu semakin erat dan realita mulai menuntut balas, Iwan harus memilih antara kembali ke dunianya yang kelabu atau selamanya terbakar dalam api gairah wanita di kamar sebelah. Karena dalam permainan yang dimulai oleh Airin, klimaks bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah kehancuran yang tak terhindarkan.
Contents:
Pesta Liar Sang Bidadari—1
Suara Desahan di Dinding Tipis—17
Senyum Manis di Pintu Sebelah—29
Nasi Goreng Pembuka Gairah—43
Racun yang Terus Kusesap—59
Topeng di Balik Pernikahan—75
Dunia yang Kutinggalkan—89
Panggilan yang Menghancurkan—103
Jerat Terakhir Sang Dewi—119
Dua Jalan yang Terpisah—137
Langkah Pertama Menuju Pagi—151
Memungut Kepingan Mimpi—163
Epilog: Gema Masa Lalu di Tepi Kolam—173