Dian Nafi menyingkap cara warga kampung memaknai setiap celah: bagaimana tempat wudlu dibangun di bawah tangga, bagaimana musholla menjadi ruang sosial dan spiritual yang hidup, bagaimana narasi leluhur di balik prasasti dan makam bisa membuka percakapan tentang kebenaran sejarah. Buku ini bukan hanya potret ruang, tapi juga cermin peradaban.
Disusun dengan bahasa yang puitik namun tajam, karya ini merangkul arsitek, sosiolog, pegiat budaya, hingga siapa saja yang merindukan keintiman dalam ruang tinggal dan ingin menyelami kembali makna “pulang”.
Dian Nafi adalah seorang arsitek, penulis, dan pengelana ruang-ruang batin yang senyap. Ia tumbuh dalam belantara kampung dan kota, menyaksikan bagaimana ruang bukan sekadar batas fisik, melainkan benang-benang halus yang menghubungkan manusia dengan kenangan, nilai, dan kebermaknaan.
Lulusan arsitektur ini tak hanya menata bangunan, tetapi juga menata narasi. Ia percaya bahwa ruang berbicara, dan tugas kita adalah belajar mendengarnya. Melalui riset, perenungan, dan pengalaman panjangnya mendampingi komunitas, ia menulis dengan kelembutan yang dalam—menyulam kisah menjadi keinsafan, mengikat tapak menjadi tafsir.
Dalam Merajut Ruang, Menyulam Kenangan di Kampung Kajoe Tangan, Dian mengajak kita masuk ke dalam lorong-lorong kampung, menyentuh permukaan tangga, mendengar desah air wudlu, dan memahami bagaimana ruang-ruang kecil bisa menjadi cermin dari peradaban yang lebih besar. Buku ini bukan hanya dokumentasi arsitektural, tapi juga elegi terhadap ruang yang nyaris dilupakan, sekaligus doa untuk masa depan yang lebih peka.
Dian telah menulis lebih dari lima puluh buku, mengisi berbagai forum literasi, arsitektur, dan spiritualitas di dalam dan luar negeri. Ia terus bergerak—antara kota dan kampung, antara kata dan ruang—dalam usaha merawat yang rapuh dan menghidupkan yang terlupa.