Lewat sebelas bab reflektif, Penulis mengajak pembaca menyelami ruang-ruang sunyi yang sering kita abaikan: kesepian dalam keramaian, rasa asing di rumah sendiri, luka dari hubungan yang tak terbalas, hingga kelelahan menghadapi ekspektasi sosial. Ditulis dengan gaya puitis, jujur, dan penuh empati, setiap bab membuka lapisan-lapisan emosi yang dalam, menggambarkan bahwa bertahan bukanlah kelemahan—melainkan bentuk paling murni dari keberanian.
Buku ini tidak menyuruh pembaca untuk “kuat” atau “bersyukur”, melainkan mengizinkan mereka untuk jujur terhadap rasa sakit dan lelahnya. Sebab di dunia yang kerap menuntut kita untuk selalu baik-baik saja, kejujuran adalah bentuk perlawanan, dan pulang bisa berarti kembali pada diri sendiri.Cocok dibaca oleh generasi yang tumbuh dalam tekanan, kesepian, dan kebisingan ekspektasi, Aku Bertanya, Tapi Dunia Tak Menjawab adalah pengingat lembut bahwa: kamu tidak sendiri, dan kamu cukup—bahkan dalam hari-hari ketika dunia tampak enggan mendengarkan.
Farmy Setiawan Radjatadoe,
S.Kom adalah penulis dan pemikir
kontemporer yang mencoba meraba
kehidupan di antara percabangan
teknologi, perasaan manusia, dan
kegelisahan eksistensial. Lulus dari
Program Studi Computer Science,
Universitas Nusa Cendana, Farmy
menyadari bahwa tidak semua hal
bisa dijelaskan dengan rumus atau kepastian, dan bahwa tak
semua luka bisa disembuhkan dengan jawaban yang cepat.
“Aku Bertanya, Tapi Dunia Tak Menjawab” adalah buku
pertamanya, sebuah percobaan jujur untuk menyuarakan apa
yang sering kali kita simpan terlalu lama: kebingungan,
kelelahan, rasa asing dalam diri sendiri, dan diam-diam tetap
memilih bertahan meski hidup tidak memberi jawaban.
Melalui tulisan ini, Farmy ingin menyampaikan bahwa
tidak apa-apa merasa tidak baik-baik saja. Bahwa bertahan,
sekecil apa pun bentuknya, tetap pantas dihargai. Jika Anda
menemukan sedikit dari diri Anda dalam halaman-halaman buku
ini, maka tulisan ini telah menemukan rumahnya, di hati Anda.