Sejak kecil ia suka menulis. Cerpen, novel, biografi telah ditulisnya. Menulis adalah keseharian yang menyenangkan baginya. Belakangan ia menggandrungi pagi, hujan, pohon, bunyi belalang daun, danau Toba. Dan dijadikan puisi. Pada satu pagi ia teringat cerpen tiang garam yang ditulis oleh kawannya, seorang penulis perempuan. Kawannya menulis bahwa perempuan tiang garam menengok ke belakang karena ingat anak domba peliharaannya. Kenyataan itu menyentaknya. Perempuan punya alasan spesifik atas tindakannya yang mungkin tak masuk akal bagi orang lain. Begitulah awal ia membaca ulang perempuan-perempuan di kitab suci. Kisah-kisah yang telah diakrabinya sejak lama. Ia mendengarkan mereka dan mereka membisikkan rahasia-rahasia mereka, kepadanya. Itulah yang melatari lahirnya 54 puisi ini. Kala menuliskannya, ia sedang bermukim di Balige.
Ia suka jalan-jalan dan berkreasi. Sejak kepindahannya ke Jakarta untuk bekerja, ia menemukan kegemaran terhadapat seni lettering. Ia kemudian belajar melukis dengan media watercolor secara otodidak di sela-sela kesibukannya sebagai auditor. Ia menikmati proses kreatif dalam mewujudkan ide-ide dari teman, keluarga, dan komunitas sekitarnya. Kelima puluh empat ilustrasi yang ia buat untuk buku puisi ini dikerjakan di Bandung, tempat ia dibesarkan, saat pandemik Covid-19 sedang terjadi. Salah satu perjalanan yang paling dikenangnya adalah saat ke Kenya, ketika mengunjungi Rift Valley, ia melihat jerapah-jerapah dalam keheningan alam bebas. Sapa dia di instagram @doulespalmarya.