Ia memejamkan mata. Ruangan penuh buku itu lenyap. Sebagai gantinya, ia merasakan hangatnya mentari pagi di sebuah pendopo di Ciamis, mendengar alunan kecapi Sunda, dan melihat siluet seorang wanita yang bergerak dengan keanggunan yang hening.
Tangannya menggenggam tasbih itu lebih erat. Hadiah dari ayah mertuanya, Raden Haji Moehammad Ta'ib. Dulu ia melafalkan zikir dengan tasbih ini, bibirnya fasih berbahasa Arab, hatinya... hatinya adalah sebuah misteri bahkan bagi dirinya sendiri. Kembali ke Leiden, ia membuka mata. Pantulan wajahnya di kaca jendela tampak asing—seorang profesor tua dengan janggut putih terawat dan tatapan mata yang kosong. Di belakang pantulan itu, ia seolah melihat sepasang mata lain menatapnya, mata Sangkana, yang dulu memandangnya penuh puja, kini seolah menuntut jawaban yang tak pernah ia berikan. Ia nyaris bisa mendengar bisikan nama anak-anaknya—Oemar, Salimah—terbawa oleh angin dingin Belanda. Nama-nama yang terasa ganjil di lidahnya sekarang, seperti kata dari bahasa yang telah terlupakan.
Malam ini, seperti ribuan malam sebelumnya, hantu Abdul Ghaffar berdiri di sudut ruangan, diam, menilainya. Dan Dr. Hurgronje, sang arsitek kolonial, tidak punya apa-apa untuk dikatakan sebagai pembelaan.
Penulis novel:
WARISAN SANG PENGKHIANAT
JANJI DI TEPI SUNGAI