Poin penting yang didialogkan dalam karya ini sejatinya ada di bab tiga, yakni tentang penafsiran ulang ayat-ayat gender. Hanya saja, penulis banyak mengeluarkan energi pada dua bab sebelumnya, untuk menunjukkan kuatnya nalar dan budaya Arab sebagai “bungkus” dan kemasan wahyu. Hal tersebut sah-sah saja, mengingat di dalam khazanah intelektual Islam “dominasi” nalar Arab memang tidak bisa dipungkiri. Tidak sedikit jumlah karya para pemikir rasional-liberal, baik yang klasik maupun kontemporer, yang memperkokoh “hegemoni” nalar Arab tersebut. Bagaimana pun, kehadiran buku ini amatlah penting guna membuka kreativitas dan kesadaran intelektual akan tugas tafsir yang tidak kenal henti.