kontroversional dan sekaligus paling sulit ditelaah dibandingkan
dengan berbagai isu pada umumnya, dianggap sebagai bagian dari
kajian tentang militer. Teori-teori mengenai profesionalisme militer
seperti ditulis oleh Samuel Huntington, Morris Janowit, Anderas
Hafera atau yang lain barangkalai berhasil mengidentifikasi beragam
karakater profesionalisme, mulai dari kemampuan mereka untuk
menguasi kompetensi teknis, membangun etika profesi sampai dengan
mematuhi otoritas politik. Namun, sulit disanggah jika penulis-
penulis tersebut lebih dulu menetapakan apa yang dimaksud dengan
kompetensi militer, hubungan superiordinasi-superiordinasi dalam
hubungan spil-militer dan bahkan tidak jarang menganggap setiap
individu punya pilihan untuk menjadi militer atau yang lain. Karena
itu, seringkali jawaban mereka tidak terlalu meyakinkan, khususnya
tentang apakah profesionalisme itu sendiri merupakan kriteria
organisasi profesi, sosial atau kultural dan apakah profesionalisasi
merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai dari luar (values)
atau mengembangkan nilai-nilai luhur (virtues) yang telah mengendap
dalam pribadi seseorang jauh sebelum mereka memasuki dunia
ketentaraan. Di Indonesia, profesionalisme TNI menjadi isu yang ramai
diperbincangkan. Kalangan militer menafsirkannya secara
sempit, dengan menitik-beratkan dengan netralitas politik atau
ketidakiukutsertaan dalam politik praktiks. Kalangan sipil umumnya
menuntut lebih banyak, termasuk perilaku terhadap masyarakat sipil.
Dalam pembahasan teoritik tentu istilah-istilah yang digunakan jauh
lebih luas dan rumit. Para teoritisi melihatnya sebagai karakter yang
terdiri dari elemen politik, kompetensi teknis dan etika kemiliteran.
Namun, ukuran dari elemen-elemen itu sendiri bisa muncul dalam
berbagai dimensi. Jarang dipersoalkan apakah salah satu elemen,
misalnya politik, dapat dianggap sebagai karakter yang sekunder.
Sebagian besar teoritisi juga melihat militer sebagai kesatuan yang
utuh., institusi yang karena hirarkinya mematikan personalitas mereka
yang berada di dalamnya. Tak seorangpun menyangkal ketika dikatakan bhwa
profesionalisme militer tidak muncul begitu saja dari ruang hampa,
melainkan merupakan resultan dari konteks sosial, kultural, dan
politik yang terjadi didalam maupun diluar militer. Puluhan buku
dengan judul baru dan berbagai karya ilmiah yang disusun untuk
thesis maupun disertasi doktoral dalam 3-4 tahun belakangan ini,
tidak luput dari kecenderungan besar itu. Sulit untuk menyangkal
bahwa harapan akan profesionalisme itu, karena kesadaran internal
militer maupun karena desakan luarnya, termasuk gerakan demokrasi
maupun berbagai kondisionalitas yang kerap muncul di panggung
diplomasi.
Sadar atau tidak mereka beranjaka dari prisma tertentu. Kalangan
sipil, misalnya; cenderung mengemukakan tentang gugatan, harapan
dan pada umumnya menggemakan kekecawaan atas capaian
reformasi militer selama ini. Konon, tantara masih tetap berhasil
mempertahankan berbagai privilege mereka. Di lain pihak, kalangan
militer berkelit. Kekurangan reformasi tantara tidak lepas dari
kegagalan sipil merumuskan kebijakan, mempertahankan momentum
dan mengeluarkan gagasan alternatif. Ada yang mengatakan bahwa
militer justru telah menjadi korban kekuasaan Soeharto dan menjadi
pihak yang kemudian dirugikan oleh Orde Baru. Tuntutan demokrasi, liberalisasi politik, supermasi sipil seakanakan
berhadapan secera diametral dengan relativisme kultural, residu reformasi, ketidakkompetensian kalangan sipil. Penulis-penulis itu
seakan-akan menjadi garuda terbang yang melihat perkelahian antara
ular dengan harimau dan sibuk bergumul dengan pertanyaannya
sendiri, mengapa harimau atau ular tidak terbang saja dan kemudian
mematuk lawannya dari atas. Sang garuda agaknya tidak tahu bahwa
harimau dan ular memang tidak bisa terbang. Mereka agaknya
terjangkit apa yang ada dalam ilmu psikologi yaitu yang sering disebut
sindrom rumah kaca. Gambaran yang muncul dari pijakan seperti itu adalah gambaran
tentang apa yang seharusnya, bukan tentang apa yang sebetulnya
terjadi.
Muhadjir Effendy adalah Guru Besar di bidang Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Malang (UM). Pernah menjabat sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tiga periode hingga 2016. Ia terpilih sebagai salah satu ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dua periode, yakni 2015-2022 dan 2022-2027.
Di pemerintahan, Muhadjir memperoleh amanat negara sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudyaaan (2016-2019), Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (2019-2024). Saat ini, ia dipercaya sebagai Penasehat Khusus Presiden Bidang Haji.
Lahir di Madiun pada 29 Juli 1956, Muhadjir sejak kecil bercita-cita ingin menjadi tentara. Ketika menjadi rektor ia justru lebih dikenal sebagai pengamat militer. Apalagi setelah menempuh pendidikan pada Visiting Program Regional and Defence Policy di National Defence University, Washington D.C. (1992), dan Long Term Course, The Management for Higher Education di Victoria University British Columbia, Canada (1991).
Muhadjir menulis disertasi di S3 Universitas Airlangga berjudul "Pemahaman tentang Profesionalisme Militer di Tingkat Elit TNI AD (Studi Fenomenologi pada Perwira Menengah TNI AD di Daerah Garnizun Malang)". Buku ini merupakan ekstraksi dari bahan disertasi Muhadjir yang tidak dimasukkan ke dalam naskah utamanya. Sedangkan disertasi itu sendiri dibukukan dengan judul Studi Fenomenologi Jati Diri dan Profesi TNI.