Menengok ke masa lampau, kita mengetahui bahwa kekuasaan Orde Baru selama tiga dekade lebih ditopang kukuh oleh lembaga telik sandi yang menjalankan pelbagai rupa operasi spion untuk meredam kekuatan oposisi. Sejarah juga mencatat bahwa intel pada periode tersebut berada di balik sejumlah manuver politik kekuasaan yang lancung, dan intimidasi ataupun kekerasan politik yang mencederai hak asasi manusia. Kala itu, intelijen tidak pelak lagi identik dengan teror serta penebar rasa takut di tengah masyarakat.
Seiring gelombang demokratisasi yang menyapu lanskap politik Indonesia pada akhir 1990-an, berbagai kelompok masyarakat mulai menaruh perhatian besar terhadap implementasi reformasi sektor keamanan (security sector reform) di Indonesia. Publik mendorong perbaikan tata kelola intelijen agar selaras dengan prinsip demokrasi, seperti transparansi dan akuntabilitas. Harapannya adalah badan telik sandi berkembang menjadi organisasi yang profesional serta efektif dalam menjalankan tugasnya. Becermin pada kemunculan ancaman baru di Indonesia, seperti terorisme dan serangan siber, intelijen juga kian dituntut untuk meningkatkan kemampuan teknisnya, misalnya dalam hal pencarian-pengumpulan-analisis informasi serta kontra-intelijen terhadap musuh. Pendek kata, reformasi intelijen dirancang sebagai agenda yang melekat dengan proyek besar demokratisasi politik dan penguatan sistem keamanan nasional di Indonesia.