Di bandara, jelang keberangkatan ke Pulau Lombok Rayhani bertatap pandang dengan seorang pria tampan yang memakai selendang tenun Lombok, sama seperti dirinya. Sejenak waktu serasa berhenti berputar. Entah bagaimana sebuah tatap bisa mengirim signal yang menggetarkan hati keduanya, meski mereka belum pernah saling mengenal. Tapi detik itu juga keduanya menyadari ada sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah perkenalan.
Hari-hari di Lombok menjadi untaian kisah terindah yang ditulis oleh angin, ombak dan kilau senja. Berdua berbincang di bawah langit penuh bintang, di antara deru angin dan ombak merajut mimpi , berbagi tawa seolah hari tiada akhir.
Namun di hari terakhir di Pulau Seribu Mesjid itu, sebuah kenyataan bak ombak besar menghantam dinding impian, menyapu jejak-jejak di pasir harapan. Sebuah perbedaan yang tak mampu dielakkan, yang membuat keduanya tak mungkin bersatu.
Di bandara saat kepulangan, kedua jemari saling bertaut. Dua tatap saling menyimpan luka dan rindu. Mengapa dunia tak sesederhana cinta kita?