Pengadilan Neraka

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Libro 30 · Pantera Publishing
2.0
1 opinión
Libro electrónico
120
Páginas
Las calificaciones y opiniones no están verificadas. Más información

Acerca de este libro electrónico

PALING kanan adalah seorang nenek berambut putih lebat. Bagian belakang rambutnya dikelabang dua. Sedang bagian depannya diponi. Wajahnya dibedaki tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kirinya diberi pewarna merah muda tipis-tipis. Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang. Hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. Baju dan celana pendeknya berwarna merah. Nenek ini bukan lain adalah Dayang Sepuh.


Di sebelah Dayang Sepuh, tegak pula seorang nenek berpakaian agak gombrong. Paras wajahnya hanya kelihatan sebagian karena bagian kiri kanannya tertutup oleh rambut dan kerudung hitamnya yang diletakkan di atas kepala melingkar ke leher terus menjulai sampai bagian depan perutnya. Nenek berkerudung hitam ini tidak bukan adalah Dewi Ayu Lambada.


Di sebelah Dewi Ayu Lambada, tegak seorang kakek bermuka tirus panjang. Rambutnya putih dibiarkan bergerai. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didongakkan dan kedua tangan berkacak pinggang. Saat mendongak bagian atas tubuhnya tampak sedikit melengkung. Karena ternyata kakek ini tidak memiliki leher! Sambil mendongak, kakek ini bukan mulutnya lebar-lebar seolah ingin memperlihatkan mulutnya yang tidak ditumbuhi gigi! Kakek ompong ini tidak lain adalah dedengkot rimba persilatan yang dikenal dengan gelar Iblis Ompong.


Di samping Iblis Ompong, tegak seorang kakek berpakaian agak lusuh. Rambutnya putih tipis. Seraya tegak, kakek ini tadangkan kedua tangan di belakang kedua telinganya. Begitu tegak kakek ini memandang beberapa saat ke arah tiga orang di sebelahnya. Dia sepertinya ingin berkata. Namun yang keluar hanyalah suara Uuukk! Uuukkk! Uuukkk! berulang kali. Ini satu tanda jika kakek ini adalah orang bisu. Dia memang kakek bisu dan tuli yang dikenal dengan sebutan Dewa Uuk.


Melihat beberapa orang yang muncul, sesaat Kiai Laras menggeram. Namun dia tidak begitu pedulikan kemunculan orang. Justru pikirannya masih tertuju pada Kembang Darah Setan yang masih tergeletak di atas tanah.


Setan Liang Makam pun rupanya tidak, acuh dengan kehadiran orang. Malah dia hanya melirik. Saat lain pandang matanya sudah tertuju pada Kembang Darah Setan.


Tiba-tiba Kiai Laras melesat ke depan. Masih di atas udara kedua tangannya disentakkan ke arah Setan Liang Makam. Setan Liang Makam tak punya pilihan lain kecuali menghadang serangan lawan. Karena kalau menghindar, berarti memberi kesempatan pada orang untuk mendekati Kembang Darah Setan. Hingga begitu melihat sosok jubah hitam berkelebat ke depan dan kedua lengannya bergerak, cucu Nyai Suri Agung ini cepat menyongsong ke depan dengan kedua tangan membuat gerakan memukul. Rupanya Setan Liang Makam sudah nekat. Karena sekarang Kiai Laras sudah tahu kalau dirinya berkhianat bahkan hendak merebut kembali Kembang Darah Setan.


Blammm!


Untuk kesekian kalinya kawasan Kampung Setan dirancah suara ledakan. Saat lain sosok Setan Liang Makam terpental dan jatuh terkapar. Di seberang, Kiai Laras perdengarkan tawa panjang sebab sosoknya tidak bergeming sama sekali. Hingga sosoknya terus melesat ke depan. Saat lain tangan kanannya menyambar Kembang Darah Setan. Dan seolah tidak memberi kesempatan pada orang, begitu Kembang Darah Setan berada di tangannya langsung dikelebatkan ke arah sosok Setan Liang Makam!


Wuuttt!


Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat angker. Setan Liang Makam terkesiap. Sudah sangat terlambat baginya jika berkelebat hindarkan diri. Maka dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki, cucu Nyai Suri Agung ini angkat kedua tangannya lalu disentakkan menghadang kiblatan sinar tiga warna yang mencuat dari Kembang Darah Setan. Senjata sakti yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun silam.


Di sebelah samping, mungkin karena masih salurkan tenaga untuk mengatasi luka dalamnya, murid Pendeta Sinting tidak berani menghadang pukulan yang melabrak ke arah Setan Liang Makam. Dia tadi juga tidak berani berbuat ayal ikut memperebutkan Kembang Darah Setan yang sudah lepas dari genggaman tangan Kiai Laras dan tergeletak di atas tanah. Karena dia maklum, jika sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad masih mampu untuk menghadang dan berbuat sesuatu. Sementara dirinya harus pulihkan dahulu keadaan tubuhnya yang terluka dalam akibat bentrokan dengan Kiai Laras. Hingga dia hanya bisa memandang bagaimana sinar tiga warna melesat ganas ke arah Setan Liang Makam.


Sementara melihat berkiblatnya sinar tiga warna, Dewi Ayu Lambada sudah hendak berkelebat dan ikut menghadang kiblatan sinar tiga warna yang menjurus ke arah Setan Liang Makam. Namun belum sampai Dewi Ayu Lambada berbuat lebih jauh, Dayah Sepuh yang tegak di samping segera palangkan tangan kanan menghalangi gerakan Dewi Ayu Lambada seraya berucap.


“Jangan berani bertindak seperti orang kesetanan! Pukulan itu bukan sembarangan!”


Dewi Ayu Lambada urungkan niat menolong Setan Liang Makam. Lalu berpaling pada Iblis Ompong seolah ingin minta pendapat tentang ucapan Dayang Sepuh. Iblis Ompong rupanya dapat menangkap maksud orang. Tanpa menoleh pada Dewi Ayu Lambada, kakek ompong ini berkata.


“Aku melihat sesuatu yang tidak biasanya pada dirimu, Nek! Tidak biasanya kau ringan tangan membantu orang! Tapi kali ini begitu melihat tampang jerangkong itu kau jadi lain! Kau sepertinya rela mati demi dia! Jangan-jangan kau telah kasmaran pada jerangkong hidup itu! Hik…. Hik…. Hik…!”


Habis berkata begitu, Iblis Ompong berpaling pada Dewa Uuk yang juga adalah adik kandung Dewi Ayu Lambada. Lalu lanjutkan ucapan.


“Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu itu?! Kau bangga punya ipar seperti dia?!” Iblis Ompong arahkan telunjuk tangan kanan pada Setan Liang Makam yang tengah sentakkan kedua tangannya menghadang kiblatan sinar tiga warna.


Dewa Uuk dekatkan telinganya pada Iblis Ompong. Saat lain dia tarik pulang kepalanya. Entah karena tidak bisa mendengar ucapan Iblis Ompong atau salah artikan isyarat telunjuk Iblis Ompong, Dewa Uuk tiba-tiba tertawa panjang! Tapi dia tidak memberi isyarat jawaban atas ucapan iblis Ompong.


“Dasar budek! Ditanya pendapat malah tertawa ngakak!” maki Iblis Ompong. Lalu mendongak dengan mulut dibuka lebar-lebar.


Dewi Ayu Lambada amat geram mendengar ucapan Iblis Ompong. Dia sudah hendak gerakkan tangan kirinya. Namun sebelum berbuat sesuatu, terdengar ledakan menggelegar.


Entah karena kaget, Iblis Ompong mental ke belakang. Sosoknya terhuyung-huyung hendak jatuh. Tapi begitu bagian atas tubuhnya sudah tertarik ke belakang hendak terjengkang, kakek ini julurkan kedua tangannya ke bawah. Sosoknya terhenti tertahan kedua tangannya yang menekan tanah. Saat lain dia membuat gerakan jungkir-balik lalu tegak membelakangi orang-orang di depan!


Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada sesaat tampak juga terkejut mendengar suara gelegar ledakan akibat bentroknya sinar tiga warna dan gelombang dahsyat yang melesat dari kedua tangan Setan Liang Makam. Sosok kedua nenek ini terjajar ke belakang lalu tegak di samping Iblis Ompong. Hanya Dewa Uuk yang terlihat tenang-tenang saja. Malah sosoknya tidak bergeming sedikit pun meski gelegar di tempat itu laksana hendak meruntuhkan julangan beberapa batu karang.


Namun begitu dia berpaling dan tidak lagi melihat ketiga orang sahabatnya, dia perlihatkan tampang ketakutan. Lalu putar kepala ke belakang. Kejap lain dia cepat-cepat berkelebat ke belakang dan tegak menjajari Iblis Ompong.


Di seberang depan sana, sosok Setan Liang Makam sudah terkapar di atas tanah dengan pakaian sebagian hangus! Untuk beberapa saat, sosoknya diam tak bergerak. Cucu Nyai Suri Agung dari kerabat Kampung Setan ini merasakan sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang. Dadanya seolah hendak meledak. Namun begitu, dia tidak juga semburkan darah dari mulutnya meski keadaannya sudah sangat parah. Ini mungkin karena susunan anggota tubuhnya hanya kerangka.


Sementara di lain pihak, Kiai Laras hanya merasakan sentakan kecil pada dadanya. Kalaupun dia masih merasakan dadanya berdenyut nyeri, itu akibat bentrok pukulan dengan Pendekar 131.


Kiai Laras putar tubuh menghadap murid Pendeta Sinting. Tanpa banyak bicara lagi Kembang Darah Setan diangkat. Murid Pendeta Sinting sesaat bimbang. Lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Ketika ditarik di genggaman tangannya terlihat benda berwarna merah sebesar dua kali ibu jari.


“Bagaimana aku harus menggunakan benda merah ini?! Langsung kuhantamkan begitu saja atau….” Joko berpikir dan sekali lagi menyesali diri mengapa tidak bertanya dahulu pada Gendeng Panuntun bagaimana cara menggunakan benda merah yang diambilnya dari pusar bayinya Pitaloka itu.


Di pihak lain, melihat benda merah di tangan Joko, Kiai Laras urungkan niat untuk kelebatkan Kembang Darah Setan. Sepasang matanya memperhatikan seksama benda merah itu. Entah karena apa tiba-tiba dada Kiai Laras mulai berdebar. Namun dia segera tenangkan diri seraya berucap dalam hati.


“Tubuhku masih dilapis Jubah Tanpa Jasad. Tanganku masih menggenggam Kembang Darah Setan. Apa yang perlu ditakutkan! Mereka boleh mengeroyokku bersama-sama!”


Membatin begitu, Kembang Darah Setan segera dikelebatkan ke arah Joko!


Wuuttt!


Sinar tiga warna berkiblat lagi dari tangan Kiai Laras yang tidak kelihatan. Pendekar 131 bingung sesaat. Seraya melompat mundur, dia kerahkan tenaga dalam pada tangan kanannya yang menggenggam benda merah. Saat berikutnya tangan kanan disentakkan.


Satu gelombang angin bergemuruh dahsyat ke depan. Namun Joko jadi tersentak sendiri. Benda merah di genggaman tangannya tidak membawa pengaruh sama sekali pada pukulannya. Hingga yang keluar melesat hanyalah gelombang angin biasa bertenaga dalam. Joko cepat hendak susuli pukulannya dengan pukulan ‘Sundrik Cakra’ yang tadi sempat membuat sosok Jubah Tanpa Jasad terkapar dan semburkan darah. Tapi keadaan Joko sudah sangat terlambat untuk kerahkan tenaga dalam. Hingga belum sampai tenaga dalam dikerahkan, di depan sana sinar tiga warna telah memporak-porandakan gelombang pukulan Joko! Saat bersamaan sosok Pendekar 131 sudah mencelat dan terbanting di atas tanah. Saat itulah tebaran sinar tiga warna melesat ganas ke arah Joko yang masih tergeletak di atas tanah!


Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak panjang. Apalagi saat melihat Pendekar 131 terkesiap dengan datangnya tebaran sinar tiga warna dan tidak bisa berbuat apa-apa!


Dua jengkal lagi tebaran sinar tiga warna menghantam hangus sosok murid Pendeta Sinting, mendadak terdengar orang bersin-bersin beberapa kali. Saat yang sama beberapa gelombang menghampar ke arah tebaran sinar tiga warna. Di lain kejap satu cahaya putih berkiblat juga mengarah pada tebaran sinar tiga warna.


Terdengar beberapa kali letusan. Tebaran sinar tiga warna semburat membubung ke udara. Gelombang yang datang melabrak serta cahaya putih yang berkiblat juga porak-poranda!


Gelakan tawa Kiai Laras terputus. Sosoknya tersentak-sentak ke belakang. Di salah satu julangan batu karang terlihat dua sosok tubuh duduk bersila dengan tubuh masing-masing sama bergetar keras dan mata sama terpejam rapat.


Kiai Laras kembali rasakan dadanya makin berdenyut nyeri. Namun perasaan marah membuat dia tidak pedulikan lagi sakit yang mendera dadanya. Dia segera berpaling ke arah salah satu julangan batu karang. Dia tahu pasti dari mana gelombang dan cahaya putih yang menghadang tebaran sinar tiga warna bersumber.


“Datuk Wahing! Gendeng Panuntun!” desis Kiai Laras mendapati siapa gerangan adanya dua sosok yang duduk bersila di lamping salah satu julangan batu karang.


Rombongan Dayang Sepuh yang sesaat tadi sudah akan lakukan hadangan juga segera menoleh.


“Untung setan-setan itu sigap dan melakukan tugas dengan baik! Kalau tidak, mungkin pemuda setan itu sudah pulang ke tanah asalnya!” Dayang Sepuh bergumam.


Setan Liang Makam yang tergeletak tak bergerak juga pentangkan mata dan melirik. Dia merasa sedikit lega melihat kemunculan dua orang sudah dikenalnya. Apalagi salah seorang yang duduk itu baru perdengarkan bersinan berkepanjangan dan laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin. Dia tahu benar ilmu apa yang baru saja dikerahkan orang. Karena ilmu itu satu-satunya ilmu langka yang dimiliki oleh mendiang neneknya dan diwariskan pada seorang muridnya yang bukan lain adalah Galaga atau sekarang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelaran Datuk Wahing. Orang di luar kerabat Kampung Setan yang diambil murid oleh Nyai Suri Agung dan menjadi saudara seperguruan Maladewa alias Setan Liang Makam.


Dua kakek yang duduk bersila di samping julangan batu karang membuka kelopak mata masing-masing. Yang sebelah kiri bermata agak besar. Sementara yang sebelah kanan bermata putih tanda orang ini buta. Yang sebelah kiri tampak gerakkan kepalanya pulang balik ke depan ke belakang saat sepasang matanya terbuka. Mimik wajahnya membuat sikap seperti orang hendak bersin. Sementara orang yang matanya berwarna putih dongakkan sedikit kepalanya lalu mengusap cermin bulat pada bagian depan perutnya. Mereka berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.


Sementara itu, begitu dirinya selamat dari tebaran sinar tiga warna, Pendekar 131 segera kerahkan tenaga dalam. Dadanya sudah tidak terkirakan lagi sakitnya karena dia tadi menghadang kiblatan sinar tiga warna dengan andalkan pukulan biasa sebab menduga benda merah di genggaman tangan kanannya akan membawa pengaruh. Namun ternyata dugaan Joko meleset. Hingga tak ampun lagi dia harus menerima akibat agak fatal. Bahkan tatkala dia coba bergerak bangkit, dari mulutnya kembali kucurkan darah! Namun Joko tak mau menyerah begitu saja. Dia berusaha kuasai diri dengan kerahkan tenaga murni pada dadanya yang dirasa paling nyeri.


“Hem…. Untung mereka datang…. Anehnya, mengapa benda merah ini tidak membawa pengaruh sama sekali?! Jangan-jangan semua keterangan orang selama ini hanya mainan saja! Tapi bagaimana bisa begitu?! Bukankah adanya benda merah di pusar bayi Pitaloka itu sudah merupakan sesuatu yang langka?! Hem…. Mungkin saja aku belum tahu bagaimana cara menggunakannya! Mudah-mudahan salah satu dari mereka yang ada di sini tahu bagaimana cara menggunakannya! Jika tidak…. Alamat akan celaka!”


Berpikir begitu, setelah merasa dapat kuasai diri, murid Pendeta Sinting angkat suara.


“Kek! Bagaimana cara menggunakannya?!”


Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun tidak menyahut meski mereka berdua tahu kalau pertanyaan Joko ditujukan pada mereka. Sementara Dayang Sepuh menoleh pada Dewi Ayu Lambada.


“Hem…. Rupanya setan itu kebingungan menggunakan benda setan itu! Kau tahu bagaimana kira-kira menggunakannya?!”


Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya seraya gelengkan kepala. “Kalau benda lain mungkin aku tahu!”


“Benda lain yang mana yang kau maksud?!” Iblis Ompong menyahut. Lalu memandang pada Dewi Ayu Lambada dari sela kedua kangkangan kakinya.


“Ya…. Pokoknya benda lain selain benda merah itu! Kalau belum jelas maksudku, pokoknya benda-benda yang membawa nikmatlah…!”


“Setan gila! Kalau benda-benda yang membawa nikmat, tanpa bertanya pun aku sudah tahu bagaimana cara menggunakannya!” sambut Dayang Sepuh.


“Ah…. Aku tahu benda apa yang kalian maksud! Apa kalian masih sering bermain-main dengan benda nikmat itu?!”


Dewi Ayu Lambada menoleh pada Dayang Sepuh. “Kau masih sering bermain-main dengan benda nikmat itu?!”


“Kau tanya pada orang yang salah!” Iblis Ompong buka suara. “Mana mungkin dia sering bermain-main dengan benda nikmat itu kalau kawin saja belum pernah?!”


“Ah…. Kau juga salah ucap!” Dewi Ayu Lambada tak mau kalah. “Apa kalau untuk bermain-main saja perlu kawin dahulu?!”


“Gila! Kalian setan gila semua!” seru Dayang Sepuh. Namun sesaat kemudian telah tertawa mengekeh.

Calificaciones y opiniones

2.0
1 opinión

Califica este libro electrónico

Cuéntanos lo que piensas.

Información de lectura

Smartphones y tablets
Instala la app de Google Play Libros para Android y iPad/iPhone. Como se sincroniza de manera automática con tu cuenta, te permite leer en línea o sin conexión en cualquier lugar.
Laptops y computadoras
Para escuchar audiolibros adquiridos en Google Play, usa el navegador web de tu computadora.
Lectores electrónicos y otros dispositivos
Para leer en dispositivos de tinta electrónica, como los lectores de libros electrónicos Kobo, deberás descargar un archivo y transferirlo a tu dispositivo. Sigue las instrucciones detalladas que aparecen en el Centro de ayuda para transferir los archivos a lectores de libros electrónicos compatibles.