Setiap puisi merangkai pengalaman patah hati, keputusasaan, dan absurditas hidup sehari-hari menjadi panorama yang tajam dan penuh jeda. Fragmen-fragmen kecil dari pertempuran mental ini tidak pernah benar-benar dimenangkan, tapi tetap dihadapi dengan kepala tegak. Kata-kata mengendap, mengetuk pelan, lalu membuka pintu-pintu perasaan yang barangkali sudah lama dikunci rapat.
Bukan hiburan yang ditemukan, melainkan cermin buram yang memperlihatkan betapa manusia bisa rapuh sekaligus kuat dalam ketidakpastian. Menelusuri setiap larik berarti berjalan di malam yang tak berujung, di mana setiap langkah bisa menjadi luka baru—atau justru pintu menuju pemahaman yang lebih dalam.