Ada yang datang dari kenangan masa kecil, dari lorong kota yang sesak, dari panggung pertunjukan, atau dari halaman sejarah yang sering diabaikan. Semuanya dibingkai dengan empati—bukan untuk menggurui, melainkan berbagi pandangan dan rasa. Larik demi larik menjadi ajakan untuk berhenti sejenak, menyimak, dan mengenali yang pernah dialami atau diam-diam dirindukan.
Di sinilah, puisi bekerja sebagai penanda dan pengingat: bahwa hidup adalah kumpulan peristiwa yang layak dicatat, bahwa yang telah tiada masih bisa bicara, dan bahwa ingatan yang jernih adalah bentuk penghormatan yang paling tulus.