Buku ini bukan sekadar tafsir ulang Pancasila, tetapi upaya mengguncang kesadaran bangsa. Ia menelanjangi bagaimana nilai-nilai luhur yang dulu lahir dari keberanian spiritual Soekarno telah dipelintir menjadi alat kekuasaan, simbol tanpa jiwa.
Lewat sudut pandang personal dan reflektif, Agung Webe menggali kembali akar Pancasila dari kedalaman kesadaran Nusantara. Ia mengajak pembaca menembus lapisan sejarah yang disembunyikan. Dari bagaimana “Ketuhanan yang Berkebudayaan” yang pernah diucapkan Soekarno sebelum akhirnya diganti dengan “Ketuhanan yang Maha Esa” dan bagaimana “Revolusi” yang dijanjikan Bung Karno seharusnya bukan hanya perubahan politik, tapi perubahan batin bangsa.
Setiap sila dibedah bukan dengan logika akademis, melainkan dengan keberanian jiwa. “Ketuhanan” tidak lagi bicara dogma, tetapi kesadaran hidup. “Kemanusiaan” tidak lagi slogan, tetapi cermin moral yang retak di tengah kapitalisme. “Persatuan” bukan seragam, melainkan keberagaman yang sadar arah. “Kerakyatan” tidak berhenti di bilik suara, dan “Keadilan” bukan janji pemilu, melainkan laku sehari-hari manusia yang sadar diri.
Buku ini akan membuatmu marah, tersentuh, dan sekaligus bertanya, “Apakah kita benar-benar merdeka, atau hanya mengganti penjajah dengan wajah sendiri?”
PANCASILA: Revolusi Tidak Pernah Selesai bukan bacaan santai. Ia adalah panggilan untuk bangkit. Bangkit bukan dengan bendera, tapi dengan kesadaran!
email: [email protected]