-> -> bit.ly/andini-citras <- <-
*
Keunggulan Ebook ini:
- Halaman Asli, tersedia header dengan judul bab
- Baca dengan keras, Menjadi audio book dengan dibacakan mesin berbahasa Indonesia
- Teks Mengalir, menyesuaikan ukuran layar
- Ukuran font dan jarak antar baris kalimat bisa diperbesar atau perkecil sesuai selera
- Bisa ganti jenis font
- Warna kertas/background bisa diubah menjadi Putih, Krem, dan Hitam
----------
Pada pertengahan tahun 2016, aku sedang makan siang di cofee chop sebuah hotel di bilangan Sudirman dengan seorang account executive untuk urusan pelaksanaan promosi produk perusahaan dimana aku bekerja. Kami duduk di meja dekat pintu masuk dan aku mengambil kursi yang menghadap ke dalam. Selesai menikmati makanan yang kami pesan, kami melanjutkan pembicaraan sambil minum kopi. Aku tidak sadar bahwa berjarak 3 meja searah pandanganku, duduk sekelompok tamu yang terdiri dari 3 wanita dan 2 pria. Lurus dengan pandangan mataku tampak seorang wanita cantik sekali berwajah indo yang kuperkirakan berumur 28 tahunan. Saat pandangannya tepat beradu dengan mataku, kulempar senyuman kecil di bibirku. Beberapa kali pandangan kami bertemu karena memang arahnya yang sama. Aku pergi ke kamar kecil. Sebelum aku berdiri, aku melirik dengan sudut mataku ke arah wanita tersebut lalu kutinggalkan meja menuju toilet pria yang terletak di ujung lorong belakang resepsionis hotel. Pada saat aku selesai dengan urusanku di toilet, aku keluar dan kembali ke arah coffee shop. Belum jauh aku melangkah, tampak sang wanita cantik itu berjalan juga ke arah toilet hingga kami berpapasan. “Hai.. Sudah selesai makannya?” sapaku iseng. “Virano namaku, boleh berkenalan? “Mendadak keberanianku timbul sambil kuulurkan tanganku. “Irin, baru selesai.. Sebentar lagi jalan.., kamu masih lama?” katanya sambil menjabat tanganku. “Sebentar lagi juga selesai, lalu kembali ke kantor” jawabku. “Hubungi aku ya..” katanya sambil memberi secarik kertas yang telah dipersiapkannya dan telah dilipat menjadi kecil yang langsung kumasukkan ke kantongku. Tak lama kemudian kutinggalkan coffee shop tersebut tanpa melirik lagi kepadanya dan aku kembali ke kantor, meneruskan pekerjaanku. Malamnya di rumah, seperti biasanya aku keluarkan seluruh isi kantongku dan meletakkannya di meja kerjaku tanpa memperhatikan satu persatu, tetapi tidak kubuang. Biasanya, setelah beberapa hari paling lama 2 minggu, aku selalu membersihkan meja kerjaku di rumah dengan memperhatikan isi kertas yang ada satu persatu sebelum aku membuangnya. Saat kubereskan 10 hari kemudian, aku menemukan secarik kertas terlipat kecil yang diberikan oleh Irin yang berisikan sebuah nomor telepon rumah. Untung saja aku temukan karena kalau tidak aku sudah lupa dengannya. Langsung saja kumasukkan dalam memory HP-ku. Malamnya kucoba menelepon Irin. Ternyata dia tidak di rumah. Keesokan paginya aku mencobanya lagi. “Hallo, bisa bicara dengan Irin?” tanyaku di telepon. “Irin di sini, dengan siapa” tanyanya kembali. “Virano, baru bangun ya?” kataku. “Hai.., kok lama baru telepon, aku tunggu sejak kita ketemu lho, nanti sore ada acara nggak?, tanyanya. “Justru aku telepon mau ngajak ketemu, jam 7:30 gimana?” tanyaku. Sorenya aku menuju ke sebuah restoran di lantai 26 lantai paling atas sebuah gedung di bilangan Sudirman, sebuah restoran yang terkenal dengan steaknya dan bersuasana romantis dan agak remang pada malam hari. Aku menunggu sekitar 15 menit sebelum Irin datang dengan anggunnya, berjalan dengan kaus putih atasan ketat tanpa lengan memperlihatkan tonjolan buah dadanya yang kuperkirakan berukuran 36B, rok mini bahan kulit ketat warna coklat, dengan tinggi lebih dari 170 cm, memperlihatkan bentuk kaki panjang yang indah menopang sepasang gundukan pantat bulat yang menggemaskan untuk segera diremas. Dengan rambut ikal tergerai sampai bahu, menunjang pancaran sinar menggemaskan dari wajah sexy menggairahkan yang mengundang minat setiap lelaki untuk segera mencicipinya saat memandangnya. Dia mengambil kursi di hadapanku sehingga aku dapat memandang wajah sexynya sepuas-puasnya, apalagi dengan sinar lampu yang remang-remang hingga menambah gairah hangat yang terasa mengalir di sekitar pahaku. Aku memesan Rib Eye Medium Well dan Irin memesan Tenderloin Well Done beserta sebotol red wine. Kami mengobrol panjang lebar tentang dunia hiburan sampai dunia usaha dan ekonomi. Irin adalah seorang wanita yang enak diajak mengobrol, pengetahuannya luas dengan gaya bicara serta body language yang mengagumkan sehingga membuatku sedikit terangsang. Selama pembicaraan, seringkali Irin memandang tanganku bila aku sedang meletakkan tanganku di atas meja, entah apa yang dipikirkannya. Botol wine kami habiskan pada saat jam telah menunjukkan pukul 22:15. Tak terasa hampir 2 jam lebih kami berada di tempat itu. Kupanggil waiter untuk meminta bill. Setelah kubayar, kami berjalan menuju lift untuk menuju ke tempat parkir. “Kamu ikuti mobilku ya..” bisiknya. “Mau kemana?” tanyaku. Irin tidak menjawab pertanyaanku. “Tuh mobilku” katanya sambil menunjuk sebuah Bulldog E Class warna putih yang diparkir dekat pos satpam. “OK, mobilku itu” ujarku sambil menunjuk sebuah Honda Accord warna coklat tua. Kami keluar dari tempat parkir menyusuri Sudirman ke arah selatan dan aku mengikuti Irin memasuki kompleks perumahan mewah dan hanya memerlukan waktu 10 menit untuk sampai di sebuah rumah yang besar. Seorang penjaga membuka pintu pagar dan Irin langsung memasukkan mobilnya ke garasi sedangkan aku sampai depan garasi saja. Tampak sebuah mobil lain tertutup kain di garasinya. Aku diajak Irin masuk melalui pintu garasi lalu Irin mengambil sebotol wine dari lemari es-nya beserta 2 buah gelas dan menyodorkannya padaku. Aku tuang wine itu masing-masing setengah gelas dan kuberikan sebuah pada Irin. Lalu Irin menggandeng tanganku dan membawaku memasuki sebuah kamar. Kamar tidurnya yang besar mungkin berukuran 10 x 8 m, tampak lemari besar dengan berbagai hiasan, piagam dan foto. Satu set sofa dan kursi malas melengkapi isi kamar itu. Aku tertegun agak lama karena kulihat sebuah bingkai foto besar di atas ranjang, foto Irin tanpa busana namun terkesan sangat artistik dimana Irin berpose dalam keadaan duduk, menaikkan sebelah kakinya untuk menutupi pangkal pahanya serta kedua tangannya disilangkan untuk menutupi sepasang dadanya. “Vir.., kenapa bengong.. Bagus kan fotoku? Mari kita minum lagi” Cahaya redup menambah romantisnya suasana ditambah suara musik dari sebuah tape di pinggir ranjang dengan suara lembut di seluruh sisi kamar tersebut. Sound System yang bagus. Aku minum seteguk lalu dia mendorongku duduk di sofa yang ada senderan tangannya, gelas wine yang dipegangnya diberikan padaku. “Kamu duduk di situ baik-baik ya, aku mau menari untukmu” suaranya lirih. Suara musik berirama slow terdengar lembut, aku duduk di muka Irin. Musik semakin lama semakin menghentak. Irin menggoyangkan badannya mengikuti irama sambil menatapku tajam. Irin mulai menggerakkan tangannya...
Contents
Awal Perkenalan dengan Irin—3
Bercinta dengan Irin—23
Kita Berteman Aja ya —43
Aku, Irin dan Rara—63
Irin Memburu Pria Baru—81