Hujan merintik di Puncak, menyisakan kabut yang membungkus vila tua di balik pagar besi. Di dalam, musik gamelan bercampur dentum bass elektronik mengalun, seolah memanggil sesuatu yang purba dari dalam jiwa. Ningsih berdiri di ambang pintu, mantel panjangnya menyembunyikan tubuh telanjangnya, hanya topeng renda hitam yang kini menutupi wajahnya. Di ruangan bundar bercadar merah, tubuh-tubuh telanjang menari tanpa nama, tanpa wajah, hanya kulit dan napas yang berbicara. Seorang wanita bertopeng tinggi berbisik, “Kamu masih bisa pergi,” tapi Ningsih melepas mantelnya, melangkah masuk, dan dunia di sekitarnya meredup, menyisakan detak jantungnya sendiri.
Di lorong gelap vila, lukisan tubuh-tubuh tergantung menatap Ningsih dengan mata kosong. Tiga pria bertopeng—emas, perak, merah—mengitarinya, tangan mereka menyentuh kulitnya seperti sedang membaca kitab terlarang. “Kau penyusup,” kata topeng emas, suaranya dingin namun penuh janji. Kamar kecil di ujung lorong hanya memiliki kasur lebar dan cermin besar, mencerminkan tubuh Ningsih yang kini tak lagi miliknya sepenuhnya. Sentuhan mereka—kasar, lembut, penuh perhitungan—membangunkan sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang haus, liar, dan tak bisa lagi dikurung. Apa yang mereka inginkan darinya, dan mengapa tubuhnya begitu rela menyerah?
Pagi datang terlalu cepat, membawa udara Bogor yang basah dan bisik-bisik kenangan. Ningsih berjalan masuk ke rumahnya, kulitnya masih menyimpan jejak malam yang tak bisa dilupakannya. Di meja ruang tamu, sebuah kotak hitam kecil muncul tanpa pengantar, berisi topeng renda hitam yang identik dengan yang dia pakai di vila. Selembar kertas di dalamnya bertuliskan, “Kau telah dipilih.” Jantungnya berdetak kencang—bukan karena takut, tapi karena tahu bahwa dunia itu belum selesai dengannya. Api di kompor dapur menjilat topeng itu hingga menjadi abu, tapi aroma gosongnya seolah berbisik: akankah Ningsih benar-benar bisa meninggalkan malam itu?
Agung, suaminya, menatapnya malam itu dengan mata yang penuh luka dan hasrat. “Ulangi semua itu untukku,” katanya, suaranya berat, “tanpa topeng, tanpa rahasia.” Kamar mereka menjadi panggung baru, di mana Ningsih menceritakan setiap sentuhan, setiap desah, dari malam di vila dan pertemuan-pertemuan terlarang lainnya. Tubuh mereka bertaut dalam kejujuran brutal, tapi di sudut pikiran Ningsih, sebuah pertanyaan menggantung: apakah kebebasan yang dia temukan di balik topeng bisa benar-benar hidup di bawah cahaya pagi? Dan jika pintu ke dunia itu terbuka lagi, akankah dia mampu menolak untuk melangkah masuk?