Erdi menatapku, wajahnya campur aduk—marah, terkejut, tapi juga terangsang. Aku lihat miliknya makin keras di dalamku, bukti dia tak cuma benci kata-kataku. “Kamu serius?” tanyanya, dan aku cuma tersenyum, menarik rambutnya, membawanya lebih dekat. “Ya, Erdi. Aku suka miliknya, besar dan panjang—kasar, liar, beda sama kamu. Dan aku tak menyesal.” (Hal 51-52)
***
Laras bukan wanita yang menunggu. Di apartemennya yang penuh bayang lampu redup, dia duduk dengan kimono sutra merah yang terbuka, anggur di tangan, dan pikiran yang liar. Dua minggu Erdi menghilang, pria yang dia cintai dengan cara yang tak pernah sederhana, dan dia tahu ada rahasia di balik senyumnya yang kaku. Tapi Laras tak menangis—dia terbakar, hasratnya meledak seperti bensin yang tersulut, dan malam itu dia memilih untuk menari di antara api yang dia ciptakan sendiri. Siapa sangka, kesalahan pertama bukan miliknya?
Erdi kembali, membawa mawar dan alasan yang rapuh, tapi Laras tak membukakan pintu untuk maaf—dia membukanya untuk permainan. Di sofa yang berderit, tubuh mereka bertabrakan, penuh cengkeraman dan erangan, tapi ada sesuatu yang mengintai di balik ciuman mereka. Nama “Nia” meluncur dari bibir Laras, dan wajah Erdi membeku—sebuah pengakuan terselubung yang membakar lebih dari sekadar kulit. Tapi Laras tak mundur; dia membalas dengan nama “Dito,” dan tiba-tiba udara penuh dendam sekaligus nafsu yang tak terucap. Apa yang mereka sembunyikan dari satu sama lain?
Dito adalah badai—kasar, muda, dan tak kenal ampun—menemui Laras di lorong gelap sebuah klub, di mana dia menyerahkan tubuhnya pada sentuhan yang mentah. Nia, bayangan misterius dari dunia Erdi, mungkin sama liar di balik pintu hotel yang tertutup. Tapi di antara semua pengkhianatan itu, Laras dan Erdi tak bisa lepas—cinta mereka adalah api yang tak padam, meski penuh salah. Malam penuh pengakuan itu membawa mereka ke tepi jurang, dan alih-alih jatuh, mereka melompat bersama. Apa yang tersisa dari puing-puing kebohongan mereka?
Balkon apartemen jadi saksi pagi yang dingin, di mana Laras berdiri, kimononya terbuka, angin menyapu tubuhnya yang penuh tanda. Erdi tidur di dalam, damai setelah badai, tapi pikiran Laras sudah melayang—ke Dito, ke kebebasan yang baru mereka sepakati. Mereka saling memiliki, tapi tak sepenuhnya—cinta mereka tetap utuh, sementara hasrat mereka bebas mencari pelabuhan lain. “Salah yang Membakar” adalah cerita tentang api yang tak bisa dipadamkan—dan pilihan untuk membiarkannya menyala.
Apakah ini kesalahan atau kebenaran yang mereka pilih? Laras dan Erdi tak lagi mencari jawaban dalam monogami yang rapuh—mereka menemukannya di kejujuran yang liar, di sentuhan yang tak lagi eksklusif. Dari sofa yang basah keringat hingga lorong klub yang penuh dosa, cerita ini mengajakmu menyelami gairah yang membakar batas, di mana cinta dan nafsu tak harus saling membunuh. Siapkah kamu terbakar bersama mereka?
Contents:
Aku Bukan yang Kau Kira—1
Awal yang Membakar”—11
Api yang Kubakar Sendiri—21
Api di Ujung Lidah—31
Api yang Tak Padam—41
Salah yang Membakar—53