“Rasa bersalah menusukku, tapi anehnya, sensasi terlarang itu justru membuat Mrs-V-ku semakin basah.” (Bab 3: Sentuhan Pertama yang Melewati Batas)
“Dia tidak sadar telah mengantar domba betina paling subur ke kandang yang penuh serigala lapar.” (Bab 4: Mangsa di Atas Ranjang)
“Persetan dengan Agus. Persetan dengan rasa bersalah. Malam ini, tubuh ini adalah milikku. Dan kenikmatan ini... adalah milikku.” (Bab 5: Di Antara Nikmat dan Rasa Bersalah)
“Aku terbaring di sana, di antara mereka, hancur, kotor, diperkosa. Dan yang paling mengerikan dari semuanya adalah... aku tidak pernah merasa lebih hidup dari ini.” (Bab 10: Dua Rudal untuk Satu Vagina)
“Besok... bisa lagi, Mas?” (Bab 12: “Besok Bisa Lagi, Mas?”)
***
Di tengah terik Kota Semarang, seorang istri berjalan mengekor di belakang suaminya. Tubuhnya lelah, namun ada kelelahan lain yang lebih dalam—kekosongan yang tak terjamah, hasrat yang terabaikan. Ketika sang suami mengeluhkan sakit pinggangnya dan mengusulkan untuk singgah di sebuah spa mewah, wanita itu hanya mengangguk pasrah. Ia tak tahu, di balik pintu kaca yang sejuk dan aroma sereh yang menenangkan itu, sebuah jawaban atas kelaparannya telah menanti, tersembunyi di balik senyum profesional dan selembar tirai tipis.
Mereka mengambil paket pasangan, sebuah ironi yang kejam. Ditempatkan di dua bilik bersebelahan, begitu dekat namun terasa begitu jauh. Sang suami, dengan dunianya sendiri, menyerahkan tubuhnya pada terapis pria untuk disembuhkan. Sementara sang istri, di bilik sebelahnya, menyerahkan tubuhnya pada seorang terapis lain—seorang pria dengan tatapan mata yang terlalu tajam dan sentuhan tangan yang terlalu mengerti. Tirai itu menjadi saksi bisu, sebuah perbatasan tipis antara kesetiaan dan pengkhianatan yang akan segera dilintasi.
Semua dimulai dari sebuah sentuhan yang “tak sengaja”. Sebuah sapuan jari yang terlalu dekat, sebuah tekanan yang bertahan sepersekian detik terlalu lama. Di dalam keheningan yang hanya dipecah oleh erangan puas suaminya dari sebelah, sebuah percikan api menyala di dalam rahim sang istri yang telah lama dingin. Sentuhan pria asing itu terasa lebih hidup, lebih memahami daripada sentuhan suaminya selama bertahun-tahun. Dan di saat itulah, ia sadar bahwa ia berada dalam bahaya—bahaya yang terasa begitu nikmat.
Logika dan rasa bersalah berperang melawan gelombang nafsu yang membakar tubuhnya. Setiap usapan minyak yang hangat terasa seperti belaian iblis, setiap bisikan sang terapis yang mengatakan “ini hanyalah bagian dari prosedur” terdengar seperti mantra sihir yang melumpuhkan akal sehatnya. Ia tahu ini salah, ia tahu suaminya ada di sana, hanya beberapa jengkal darinya. Tapi tubuhnya adalah seorang pengkhianat, dan ia mulai menginginkan lebih. Lebih kotor, lebih dalam, lebih terlarang.
Seberapa jauh seorang wanita akan melangkah saat tubuhnya yang lapar akhirnya menemukan hidangan yang paling ia dambakan? Ketika pintu menuju neraka kenikmatan telah terbuka, dan di baliknya bukan hanya satu, tapi dua pria menunggunya dengan seringai lapar, akankah ia berbalik dan lari? Atau akankah ia melangkah masuk, menyerahkan tubuh dan jiwanya, hanya untuk merasakan apa yang telah lama hilang darinya, tepat di samping suaminya?
Contents:
Lelah yang Terabaikan—1
Bilik Tirai Tipis—13
Sentuhan Pertama yang Melewati Batas—25
Mangsa di Atas Ranjang—35
Di Antara Nikmat dan Rasa Bersalah—45
Terapi Pengencangan Lengan—57
Terapi Penirus Wajah—69
Suami yang Pulang Duluan—81
Sesi Tambahan Tanpa Batas—91
Dua Rudal untuk Satu Lubang—103
Kanvas Putih Penuh Cairan—117
“Besok Bisa Lagi, Mas?”—129