“Tatapannya seolah mengulitiku, mencoba menembus lapisan kemeja dan bebat yang melindungiku. Ia seperti bisa mencium aroma feromon perempuanku yang mati-matian kusembunyikan.” — Bab 2: Tatapan yang Menguliti
“Malam itu, rahasiaku telah terbongkar, dan sebagai gantinya, kehormatanku telah direnggut selamanya.” — Bab 3: Malam Terbongkarnya Rahasia
“Semua rasa sakit, semua penghinaan, semua air mata... semuanya sia-sia. Pengorbanan ini bukan penyelamatan. Ini hanya sebuah degradasi tanpa tujuan.” — Bab 9: Panggilan yang Menghancurkan Segalanya
“Bebat itu memang sudah terlepas selamanya, tapi bukan karena aku telah menemukan kebebasan. Bebat itu terlepas karena aku tidak perlu lagi menyembunyikan apapun.” — Bab 10: Budak Selamanya
“Ia tidak sedang memperkosa seorang wanita; ia sedang menancapkan klaim kepemilikannya.” — Bab 5: Mangsa di Sarang Serigala
“Aku... perempuan,” jawabku, suaraku pecah. “Aku perempuan... milik Mas Kurnia.” — Bab 10: Budak Selamanya
***
Di balik kemeja longgar dan lilitan bebat yang menyesakkan, ia menyimpan rahasia termahal seorang wanita. Setiap hari di fasilitas terpencil yang hanya dihuni para pria itu, Nathasa hidup sebagai Basuki, adiknya. Ia menekan setiap lekuk tubuhnya, meredam setiap desah naluriahnya, dan membiarkan sepasang payudaranya terpenjara dalam kungkungan kain. Udara di sekelilingnya begitu pekat dengan testosteron, sebuah pengingat konstan bahwa satu kesalahan kecil saja bisa membuat rahasia di dalam celananya—sebuah rahim yang berdenyut, bukan kejantanan yang menggantung—terungkap dan menelannya hidup-hidup.
Namun, sepasang mata mengawasi. Kurnia, sang senior, merasakan ada yang salah. Bukan logika, melainkan naluri predator yang mencium aroma mangsa yang ketakutan. Ia melihat getaran aneh pada sosok “Basuki” yang terlalu halus, tatapan yang terlalu sering menunduk, dan keengganan yang ganjil untuk berbagi ruang paling intim para lelaki. Maka dimulailah sebuah permainan kucing dan tikus yang kejam, di mana setiap pertanyaan menjebak dan setiap sentuhan “persahabatan” yang disengaja adalah cara untuk menguliti lapisan pertahanan Nathasa, sedikit demi sedikit.
Hingga malam itu tiba. Malam di mana alkohol melonggarkan kendali dan rasa penasaran yang membara tak bisa lagi dibendung. Di balik pintu kamar yang terkunci, benteng terakhir itu runtuh. Dengan satu koyakan kain yang kasar, rahasia termahal itu tumpah ruah di hadapan mata sang pemburu. Bukan lagi kecurigaan, melainkan bukti nyata yang menggairahkan: dua gundukan terlarang yang seharusnya tidak ada, kini terpampang nyata, mengubah udara di ruangan itu dari ketegangan menjadi hawa nafsu kepemilikan yang buas.
Penyamaran yang terbongkar bukanlah sebuah pembebasan, melainkan awal dari belenggu yang baru. Rahasia itu kini menjadi rantai yang melilit lehernya, dan tubuhnya menjadi satu-satunya jaminan yang bisa ia tawarkan. Di sudut-sudut tergelap fasilitas, di mana tidak ada mata yang melihat, tubuh yang tadinya mati-matian ia sembunyikan kini dipaksa untuk terbuka. Setiap lubang menjadi pengakuan, setiap erangan yang tertahan menjadi musik, dan setiap tetes cairan yang menodainya adalah tanda kepemilikan yang tak bisa dihapus.
Tragedi sesungguhnya bukanlah saat topengnya jatuh, melainkan saat ia menyadari untuk apa ia menanggung semua itu. Saat sebuah panggilan telepon dari seberang lautan menghancurkan alasan dari pengorbanannya, pintu menuju kebebasan pun tertutup selamanya. Saat pengorbanan terbukti sia-sia dan harapan menjadi abu, apa yang tersisa dari seorang Nathasa selain tubuh yang menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi abadi?
Contents:
Bebat yang Menyesakkan—1
Tatapan yang Menguliti—13
Malam Terbongkarnya Rahasia—25
K**tol Sang Pemeras—41
Mangsa di Sarang Serigala—55
Sabun dan Sperma di Pemandian Umum—67
Desahan yang Tertahan—79
Harapan di Ujung Neraka—91
Panggilan yang Menghancurkan Segalanya—101
Budak Selamanya—113