Setiap hari kita disuguhkan berita yang membuat hati miris. Korupsi di mana-mana, intoleransi menguat, solidaritas sosial memudar. Seolah bangsa ini kehilangan arah dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Ironisnya, kita hidup di tengah peradaban yang sesungguhnya sangat kaya akan kearifan moral. Candi Borobudur bukan sekadar bangunan megah, melainkan blueprint perjalanan spiritual menuju kesempurnaan. Keris pusaka bukan sekadar senjata, tapi simbol kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Sistem subak di Bali mengajarkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan jauh sebelum konsep sustainability menjadi trending topic. Ulos Batak menenun nilai kasih sayang dan resiprositas yang kini hilang di era individualisme. Perahu phinisi membuktikan bahwa kepercayaan dan solidaritas bisa mengarungi lautan paling ganas.
Sayangnya, semua kekayaan ini terpendam begitu saja. Kita lebih fasih membahas filosofi Barat ketimbang mengeksplorasi kearifan lokal yang sesungguhnya tidak kalah mendalam.
Sebagai bagian dari generasi yang menyaksikan krisis karakter ini, saya merasa terpanggil untuk menggali kembali permata-permata etika yang tersembunyi dalam budaya Nusantara.
Etika Nusantara adalah hasil pengembaraan intelektual saya menjelajahi 20 mahakarya peradaban Indonesia. Dari mandala kosmis Borobudur hingga situs Sangiran yang mengingatkan akar kemanusiaan kita. Dari gamelan yang mengajarkan harmoni kolektif hingga wayang yang merefleksikan pergulatan dharma-adharma dalam jiwa manusia.
Buku ini bukan nostalgia romantis terhadap masa lalu. Ini adalah upaya menemukan kompas moral yang relevan untuk menghadapi kompleksitas zaman modern. Karena etika sejati tidak mengenal batas waktu.
Edukator partikelir dan programmer milenial yang senantiasa berupaya merajut benang merah antara ajaran dan laku hidup leluhur Nusantara dengan pengetahuan dan praktik keseharian generasi muda Indonesia.