Seolah mengatakan: di balik batas yang pernah menahan langkah, selalu ada jalan untuk pulang dan melangkah kembali.
Hujan di Balik Pintu Merah bukan hanya cerita tentang rumah tua dan rahasianya.Ia adalah kisah tentang keberanian membuka kembali lembar yang terkunci, tentang luka lama yang akhirnya dihadapkan pada cahaya, tentang bagaimana hujan—yang dulu dianggap penghalang—menjadi penanda awal bagi kehidupan baru.
Novel ini menelusuri lapisan waktu yang terhampar di sebuah desa, membawa pembaca menyusuri antara masa lalu dan masa kini, antara yang terbungkam dan yang akhirnya menemukan suara.
Di bawah langit kelabu dan derasnya hujan, kita diingatkan: setiap pintu yang terbuka tidak hanya membawa udara baru masuk ke dalam, tetapi juga membiarkan cahaya menuntun langkah keluar.Dan setiap hujan yang jatuh tak sekadar membasahi bumi, tetapi membangkitkan kenangan dan keberanian yang pernah terkubur di tanah yang sama.
ISYA EL RUMI lahir dan besar di Jakarta, di tengah kota yang tak pernah benar-benar tidur, namun selalu menyimpan ruang sunyi bagi yang ingin merenung. Sebelum memilih jalan sebagai ibu rumah tangga dan penulis, Rumi menghabiskan bertahun-tahun dalam dunia angka dan risiko sebagai seorang analis di sebuah perusahaan asuransi. Dunia yang rapi, penuh kalkulasi, dan tak banyak ruang untuk intuisi.
Namun hidup, seperti halnya kisah-kisah besar, seringkali mengambil tikungan yang tak terduga. Setelah menikah dan dikaruniai tiga orang anak, sekarang menetap di Bandung, di kaki gunung yang sejuk dan nyaman. Rumi perlahan meninggalkan dunia profesional dan tenggelam dalam peran baru yang lebih sunyi tapi sarat makna: sebagai istri, ibu, dan penjaga rumah. Di sela-sela hiruk pikuk hari-hari membesarkan anak, justru di sanalah ia menemukan kembali kekuatannya yang lain—menulis.