Tiga bulan setelah malam ketika rumah tua di Teluk Manggasa menelan sebagian nalar Rendi Lesnusa, kota besar mencoba menggiling ingatan itu menjadi debu. Namun retakan-retakan halus tetap ada—di napasnya yang patah saat tidur, di tatapan kosong yang menghindari permukaan air, bahkan di cahaya lampu kamar yang selalu ia biarkan menyala sampai subuh. Mika tahu wajah kakaknya yang sekarang bukan lagi wajah lelaki yang sama. Ada sesuatu yang menempel pada Rendi, licin dan dingin, seperti lendir yang tak bisa dibasuh, hanya menunggu jam-jam malam untuk merayap kembali ke kulit.