"Lebih enak tangan Mbak atau suara pacarmu itu?" - Dari Bab 6: Panggilan Telepon Penuh Dosa
"Yudha bukan hanya adiknya. Dia adalah miliknya." - Dari Bab 7: Cemburu dan Keraguan
Di neraka Jakarta ini, pelukan hangat dan dosa dari adiknya terasa lebih seperti surga daripada apa pun. - Dari Bab 4: Malam Sunyi di Jakarta
Ini gila. Ini salah. Tapi rasanya begitu benar. - Dari Bab 5: Gairah yang Tak Tertahankan
Di matanya, aku melihat segalanya. Gairah semalam, kesedihan pagi ini, dan sebuah janji tanpa kata. - Dari Bab 9: Perpisahan Tanpa Kata
Ketika ia kembali setelah dua tahun, ia tidak hanya membawa oleh-oleh dari kota, tetapi juga sebuah tubuh yang telah mekar sempurna di tempat yang tak tersentuh. Bagi sang adik, Yudha, kepulangan Ayu adalah kebangkitan hantu dari masa lalu yang manis dan penuh dosa. Setiap lekuk tubuh kakaknya yang baru, setiap helai rambutnya yang tergerai, seolah memanggil kembali sebuah janji terlarang yang pernah mereka segel bukan dengan kata, melainkan dengan sentuhan gemetar di sebuah kamar yang sunyi. Seminggu terasa begitu singkat, namun cukup lama untuk api lama kembali menyala.
Di balik pintu rumah yang tampak tenang, sebuah permainan berbahaya dimulai. Kenangan akan perlindungan berubah menjadi hasrat untuk menguasai. Pelukan seorang kakak yang seharusnya menenangkan kini terasa membakar, dan bisikan di telinga bukan lagi berisi nasihat, melainkan undangan menuju neraka kenikmatan. Mereka tahu ini salah, sebuah pelanggaran terhadap tatanan suci keluarga, namun di mata satu sama lain, mereka hanya melihat cerminan dari kebutuhan mereka yang paling gelap dan paling jujur.
Uap panas di kamar mandi menjadi saksi pertama runtuhnya pertahanan mereka. Dengan dalih nostalgia untuk saling menggosok punggung, sentuhan yang seharusnya polos berubah menjadi belaian yang menuntut. Sabun yang licin menjadi pelumas bagi jari-jari yang menjelajah, dan suara air yang jatuh menyamarkan desahan yang tak lagi bisa ditahan. Di ruangan sempit itu, status kakak dan adik luruh bersama pakaian mereka, menyisakan hanya dua tubuh yang saling mendamba, menyerah pada takdir yang telah mereka tulis sendiri bertahun-tahun lalu.
Hari-hari berikutnya adalah sebuah tarian penuh dosa. Kecemburuan menjadi bumbu penyedap yang membuat setiap sentuhan terasa lebih tajam. Sebuah panggilan telepon dari kekasih sang adik bisa berubah menjadi ajang penyiksaan sensual, di mana tangan sang kakak membuktikan siapa pemilik tubuh itu sebenarnya. Ruang keluarga, sofa, bahkan karpet di lantai menjadi altar bagi penyatuan terlarang mereka, menyerap setiap erangan dan cairan suci yang mereka tumpahkan dalam pergulatan melawan tabu.
Dan ketika minggu itu berakhir, kepergiannya tidak meninggalkan kehampaan, melainkan sebuah kecanduan. Aromanya tertinggal di setiap sudut rumah, di bantal, dan terutama di dalam benak sang adik. Perpisahan itu bukanlah sebuah akhir, melainkan jeda yang menyiksa. Karena keduanya tahu, ikatan mereka tidak lagi terikat oleh darah, tetapi oleh dosa. Dan untuk dosa semanis ini, jarak hanyalah sebuah undangan untuk pertemuan berikutnya yang lebih panas dan lebih nekat.
Contents:
Kepulangan yang Canggung—1
Kenangan Tiga Tahun Lalu—15
Sentuhan Pertama di Kamar Mandi—31
Malam Sunyi di Jakarta—47
Gairah yang Tak Tertahankan—57
Panggilan Telepon Penuh Dosa—73
Cemburu dan Keraguan—87
Malam Terakhir yang Panas—97
Perpisahan Tanpa Kata—109
Janji di Ujung Telepon—119