Saraswati, darah muda Kadipura, tidak lagi ingin menunduk. Di matanya, sunyi bukan lagi bentuk kesabaran, melainkan ruang tempat amarah tumbuh seperti bara di bawah abu.Ia mencari arti kemerdekaan di balik tembok rumah, di antara gamelan yang tak lagi merdu dan doa yang kehilangan arah.
Ketika ia menemukan keberanian untuk menatap langit, ia tahu: sebagian suara tidak harus lantang untuk mengguncang dunia.
Amarah Sunyi: Perempuan Kadipura bukan hanya kisah tentang perlawanan,tetapi tentang bagaimana perempuan menjaga api di dada mereka —agar tidak padam oleh waktu, oleh cinta yang pincang, atau oleh sistem yang membatu.Ia adalah perjalanan batin yang menyatukan kesunyian dengan nyala, kepasrahan dengan pemberontakan, tubuh dengan roh, bumi dengan langit.
ISYA EL RUMI lahir dan besar di Jakarta, di tengah kota yang tak pernah benar-benar tidur, namun selalu menyimpan ruang sunyi bagi yang ingin merenung. Sebelum memilih jalan sebagai ibu rumah tangga dan penulis, Rumi menghabiskan bertahun-tahun dalam dunia angka dan risiko sebagai seorang analis di sebuah perusahaan asuransi. Dunia yang rapi, penuh kalkulasi, dan tak banyak ruang untuk intuisi.
Namun hidup, seperti halnya kisah-kisah besar, seringkali mengambil tikungan yang tak terduga. Setelah menikah dan dikaruniai tiga orang anak, sekarang menetap di Bandung, di kaki gunung yang sejuk dan nyaman. Rumi perlahan meninggalkan dunia profesional dan tenggelam dalam peran baru yang lebih sunyi tapi sarat makna: sebagai istri, ibu, dan penjaga rumah. Di sela-sela hiruk pikuk hari-hari membesarkan anak, justru di sanalah ia menemukan kembali kekuatannya yang lain—menulis.[]