“Dia tidak ingin suami yang tidak bisa memuaskannya di ranjang. Dia... berpengalaman.”
Kata ‘berpengalaman’ itu terasa seperti cambuk di telinga Gilang, membakar rasa malu dan rendah dirinya. Ia yang masih perjaka dalam segala hal, yang pengetahuannya tentang seks hanya berasal dari film porno dan obrolan konyol teman-temannya, kini harus menghadapi wanita yang mengerti seluk-beluk tubuh dan nafsu. Kecemasan yang tak terhingga merayap, membekukan darahnya hingga ke tulang. Bagaimana mungkin ia, seorang bocah 15 tahun, bisa memuaskan seorang wanita yang jauh lebih tahu tentang dunia itu? (Hal 14-15)
***
Indonesia, khususnya Pulau Jawa, dikenal luas karena kekayaan warisan budaya dan kearifan lokalnya. Salah satu tradisi unik yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, adalah Tradisi Gowok. Ini merupakan bentuk pendidikan pra-pernikahan yang secara khusus ditujukan bagi remaja laki-laki. Berbeda dengan praktik pendidikan konvensional, tradisi ini berfokus pada kesiapan pernikahan yang komprehensif, terutama terkait hubungan seksual dan tanggung jawab rumah tangga, topik-topik yang pada umumnya dianggap tabu untuk diajarkan secara langsung oleh orang tua. Wanita profesional yang menyediakan pendidikan ini disebut "Gowok", sering digambarkan sebagai seorang ronggeng atau janda yang berpengalaman.
Meskipun catatan historisnya terbatas, tradisi ini diperkirakan muncul sekitar abad ke-15 dan sangat lazim di masyarakat Banyumas tradisional, khususnya di kalangan priyayi atau bangsawan Jawa. Munculnya dan berlanjutnya Tradisi Gowok mengungkapkan sebuah adaptasi budaya yang pragmatis terhadap tabu sosial. Di mana pendidikan seks langsung dari orang tua dilarang atau dianggap tidak pantas, Tradisi Gowok berfungsi sebagai perantara yang dilembagakan untuk menjembatani kesenjangan ini. Praktik ini diyakini memastikan keharmonisan rumah tangga dan kompetensi kepala keluarga laki-laki. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini "perlahan-lahan meluntur dan akhirnya hilang ditelan zaman", sebagian besar karena dianggap bertentangan dengan nilai keagamaan, modernisasi, dan kompleksitas sosial seperti terjadinya hubungan romantis antara Gowok dan siswanya yang menimbulkan "aib". Meskipun kini sudah tidak ada, esensi kebutuhan akan bimbingan intim dan kompleksitas hubungan manusia yang melampaui tabu, tetaplah relevan.
Di tengah kemegahan Jakarta yang gemerlap, hidup Gilang, seorang remaja lima belas tahun, mendadak berubah menjadi tirai neraka. Sebuah pernikahan dipaksakan, bukan oleh takdir, melainkan oleh intrik bisnis para ayah dan aib yang dibawa oleh Ratih—seorang wanita dewasa dengan rahasia kehamilan dan hasrat yang menuntut kepuasan penuh. Gilang, sang perjaka yang tak siap, mendapati dirinya hanyalah bidak dalam permainan kekuasaan, sebuah jaminan demi kelangsungan kerajaan bisnis yang tak pernah ia inginkan. Sebuah mahar tak kasat mata harus ia bayar: menyerahkan kebebasan jiwanya, dan tubuhnya yang lugu harus dipersiapkan untuk menyenangkan sang pengantin wanita yang penuh pengalaman.
Maka, hadirlah Gita. Seorang mahasiswi psikologi dua puluh dua tahun, penulis seks lepas dengan pandangan seks sebagai seni, yang memancarkan aura anggun dan bermartabat, jauh dari kesan wanita yang hanya mencari pemuasan raga. Gita adalah "Gowok" modern, guru yang diutus untuk membuka gerbang keintiman Gilang. Dengan tubuhnya yang sempurna—lekuk payudara yang membusung, dan pinggul penuh yang terbalut kain tipis—serta tatapan mata yang dalam penuh pengertian, Gita memimpin Gilang dalam sebuah pelatihan yang tak hanya mengubah raganya, tetapi juga mengoyak jiwa.
Selama tujuh hari yang intens, vila pribadi itu menjadi kanvas bagi seni yang paling kuno dan paling berani. Gita mengajari Gilang bagaimana mencumbu dengan sentuhan yang tepat, bagaimana mencium dan menghisap bukit kembar wanita hingga mengeras, bagaimana menjilati pusat gairahnya hingga basah dan bergetar, dan bagaimana menyatukan inti tubuhnya ke dalam kehangatan pasangannya dengan ritme yang memabukkan. Setiap sesi adalah sebuah babak yang lugas dan transparan, di mana Gilang belajar mengendalikan hasratnya, memperpanjang durasi tarian mereka, dan memuaskan Gita hingga erangan kebahagiaan Gita memenuhi ruangan, bukti bahwa ia telah mencapai puncak kenikmatan yang terucap tanpa ditutup-tutupi.
Namun, di tengah setiap desahan dan sentuhan yang membakar, sebuah melodi lain mulai tercipta. Gilang, dengan jiwa remajanya yang rentan, tak kuasa menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada Gita, sang guru. Setiap pelajaran tentang tubuh berubah menjadi pelajaran tentang hati, setiap pelepasan sensasi adalah pengakuan atas ikatan yang terlarang. Ia tahu, hati Gita pun merespons, membalas gairahnya dengan kelembutan yang menyakitkan. Sebuah cinta yang tumbuh di tanah terlarang, terlalu indah untuk diabaikan, terlalu berbahaya untuk diakui.
Kini, Gilang adalah suami yang sempurna di ranjang, mampu membuat Ratih mendesah puas setiap kali inti tubuhnya membanjiri relung hangat pasangannya. Namun, di balik setiap ciuman hampa dan setiap sentuhan tanpa jiwa, bayangan Gita terus menghantuinya. Sebuah malam perpisahan terakhir, di mana hasrat terlarang mereka dilepaskan seutuhnya sebelum Gita pergi menuju benua lain, hanya menyisakan elegi pilu. Novel ini adalah kisah tentang seni keintiman yang mendalam, tentang jiwa yang terperangkap dalam takdir yang ditentukan, dan tentang cinta terlarang yang tak pernah mati, mengukir dirinya sebagai luka pahit-manis yang abadi dalam jiwa Gilang.