Kenangan Hujan Bersama Marisa

“Kita kan hanya berteduh dari hujan.” (Bab 4: “Kita Hanya Berteduh, Pak”)

“Istri Bapak... pernah jilat p**er Bapak sampai bersih begini?” (Bab 7: Basah di Kamar Sempit)

“Jangan jadi serius, Pak Vidi. Anggap saja semua ini kenangan hujan kita.” (Bab 10: Tetesan Terakhir)

“Badai telah berlalu, dan bagiku, langit akan selalu cerah.” (Epilog: Langit Cerah)

***

Di lantai tiga puluh tujuh sebuah menara perkantoran yang menjulang angkuh di jantung Jakarta, Vidiandra Perkasa adalah seorang manajer yang hidupnya tertata rapi. Ia punya istri yang cantik, anak-anak yang lucu, dan karier yang stabil. Dunianya adalah garis lurus yang aman dan membosankan. Namun, di balik kubikel yang tak jauh darinya, Marisa, karyawati junior yang tampak polos dan rajin, melihat garis lurus itu bukan sebagai sebuah pencapaian, melainkan sebagai sebuah tantangan. Ia melihat kerapuhan di balik citra pria setia itu, dan ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mematahkannya.

Waktu itu datang dalam bentuk badai. Hujan deras yang turun tiba-tiba sore itu bukan hanya mengguyur jalanan Kuningan hingga lumpuh, tapi juga menjebak mereka berdua di lobi gedung yang sepi. Di antara pilar-pilar marmer yang dingin dan gema guntur yang menggelegar, batas antara atasan dan bawahan mulai mengabur. Udara yang dingin terasa berat oleh aroma parfum Marisa yang lembut dan tatapan matanya yang menyimpan undangan berbahaya. Dalih untuk berteduh perlahan berubah menjadi sebuah panggung untuk pertunjukan dosa yang paling intim.

Bagi Vidi, sentuhan pertama Marisa terasa seperti sengatan listrik yang membangkitkan gairah yang telah lama ia kubur. Satu ciuman di sudut gelap lobi sudah cukup untuk meruntuhkan seluruh benteng pertahanan yang telah ia bangun seumur hidupnya. Ia pikir ia yang memegang kendali, namun ia tidak sadar bahwa sejak awal, ia hanyalah seekor mangsa yang berjalan lurus menuju jaring laba-laba. Setiap desahan, setiap hentakan, setiap tetes sperma yang ia tumpahkan di dalam tubuh karyawatinya, adalah satu langkah lebih dalam menuju kehancuran totalnya.

Maka dimulailah permainan rahasia mereka. Di kamar kost sempit yang kontras dengan kemewahan hidup Vidi, Marisa mengajarinya arti kenikmatan yang brutal dan adiktif. Ia meracuni pikiran Vidi dengan bisikan-bisikan cabul, membandingkan dirinya dengan sang istri, dan membuatnya menjadi pembohong ulung di ranjangnya sendiri. Vidi, yang kini telah menjadi budak dari lubang vagina dan mulut serakah Marisa, mulai kehilangan segalanya: tidurnya, kewarasannya, dan akhirnya, keluarganya.

Namun bagi Marisa, ini bukanlah kisah cinta terlarang. Ini hanyalah sebuah permainan. Sebuah pengisi waktu yang menyenangkan selagi menunggu hari pernikahannya dengan tunangannya yang sempurna. Karena ketika hujan akhirnya reda dan langit kembali cerah, ia akan berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Vidi sendirian dalam badai abadi yang diciptakannya. Karena semua yang terjadi di antara mereka, hanyalah sebuah kenangan. Kenangan hujan yang manis bagi sang pemangsa, dan neraka abadi bagi sang mangsa.

Contents:

Guntur di Langit Kuningan—1

Terjebak Deras Hujan—13

Dalih Pertama—27

“Kita Hanya Berteduh, Pak”—47

Aroma Asing di Ranjang Kami—65

Undangan ke Sarang Ular—77

Basah di Kamar Sempit—91

Dering Telepon dari Rumah—107

Calon Suami Sempurna—121

Tetesan Terakhir—131

Epilog: Langit Cerah—149