Kita tak mampu lagi memandang ke depan dengan jelas, karena mata kita tak berhasil menyapa yang belum ada. Tapi seperti mencuri ketelanjangan dari fetrase yang menerawang, dalam ketidakpastian itu, ada sensasi artistik yang tak tertandingi oleh ketelanjangan total yang sudah memaparkan habis misteri.
Padahal misterilah yang memberikan celah imajinasi personal masuk dan terlibat secara imajinatif. Ambiguitas itulah agaknya yang membuat puisi menyengatkan magnit. Karena kata-kata tak lagi pasti seperti yang dijelaskan kamus. Kata menjadi bongkah makna baru yang menoreh kalbu dan memberikan kita kebebasan untuk menikmatinya.
Puisi Bode Riswandi yang berjudul “Mereka Terus Bergegas”, yang juga jadi judul kumpulan ini, menggigit saya seperti itu. Dan saya tak memerlukan tuturan yang lebih jelas. Dalam kesamarannya puisi yang seperti gumam itu, mengalir bagai air gunung menuruni bukit, menempuh berbagai perasaan tetapi dengan gigih akhirnya sampai pada pengalaman konkret: Lalu pada hari-hari berikutnya/Mereka menjumpai kenyataan.
Ada kepastian dan sekaligus keberanian untuk menapak kembali ke kehidupan nyata. Seperti meninggalkan sebuah pesan: pada akhirnya retorika akan berakhir pada apa yang senyatanya ada.
Dalam sajak “Enam Bait Stanza Untuk Indonesia”, imajinya yang gelap karena amat personal mencair lebih konkret komunikatif. Di situ ada lukisan suasana dramatik di lapangan (yang bisa dimengerti siapa saja), akibat perubahan yang mendera masyarakat bawah (kendati berdalih pembangunan dan kemajuan).
Ini memang problematika laten di negeri kita yang begitu luas-beragam situasi kondisi dan latar belakang. Karena pembangunan di kelas atas tak memedulikan tenggelamnya yang di bawah. Akibatnya: memberikan penilaian umum akan sulit karena situasi di berbagai wilayah berbeda.
Sebagaimana datangnya era 4.0. Apakah harus ditolak, karena kita belum serentak siap? Atau dilahap dengan risiko sebagian gigi kita remuk?
Penyair tentu bebas memilih. Dapat dimengerti, Bode yang tinggal di kota kecil Tasikmalaya tak sudi kehilangan banyak hal yang sudah jadi bagian keindahan masa lalunya.
Sebagai sebuah sajak, dalam sajak ini saya lihat penyair memakai peristiwa atau gambaran dramatik untuk mempersiapkan sekaligus mengantar dengan suara lirih saya/pembaca ke akhir baitnya untuk disembelih dengan bisikan opininya. Saya rasa itulah kekuatan Bode. Menikmati sajak-sajak Bode saya menikmati suasana-suasana dramatik lirih tapi menyembelih.
Putu Wijaya, Sutradara/Sastrawan.
Bode menawarkan spektrum yang patah antara “bermain” dan “dipermainkan”. Ruang bermain hilang; masa kanak-kanak tidak menjadi inisiasi untuk batas biografis asal-usul. Waktu bergerak di antara banyak otoritas kuasa yang menjebak kerja-kerja kreatif, menguasai makna dan nilai-nilai: menjadikan setiap aku sebagai permainan order. Puisi berada di antara tubuh yang batal menjadi
aku dan kenangan yang batal menjadi kata. Yang dilakukan Bode menghadapi “ruang mati” ini adalah melakukan “intervensi” ke mitos-mitos lokal dan sejarah, menggunakan puisi sebagai praktik-praktik percobaan multi-teknik penulisan puisi. “Mereka Terus Bergegas”, kumpulan puisi Bode Riswandi ini pada gilirannya se-
buah konversi situasi waktu sebagai ruang mati. Ruang yang kemudian berusaha dihidupkan sebagai “tubuh yang bercinta”, atau mengintervensi aku-biografis orang lain.
Afrizal Malna, Sastrawan.
Bode Riswandi lahir di Tasikmalaya, 6 November 1983. Mengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Siliwangi Tasikmalaya (Unsil). Bergiat di Rumah Budaya Beranda 57, dan Teater 28. Menulis puisi, cerpen, esai, dan naskah drama. Beberapa karyanya dipublikasikan di beberapa media massa di antaranya Pikiran Rakyat, Majalah Syir’ah, S. K. Priangan, Tabloid MQ, Puitika, Lampung Post, Bali Post, Koran Minggu, Majalah Sastra Aksara, Jurnal Bogor, Tribun Pontianak, Majalah Sastra Sabana, Jurnal Amper, Jurnal Kebudayaan AKAL dll. Selain itu beberapa karyanya juga terhimpun dalam beberapa antologi: Biograpi Pengusung Waktu (RMP, 2001), Poligami (SST, 2003), Kontemplasi Tiga Wajah (Pualam, 2003), Dian Sastro For President #2 (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003), Jurnal Puisi (Yayasan Puisi, Jakarta 2003), End of Trilogy (Insist Press, Yogyakarta 2005), Temu Penyair Jabar-Bali (2005), Sang Kecoak (InsistPress, 2006), Lanskap Kota Tua (WIB, 2008), Tsunami, Bumi Nangroe Aceh (Nuansa, 2008), Rumah Lebah Ruang Puisi (Yogyakarta, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa antologi Temu Sastrawan Indonesia II (2009), Antologi Penyair Muda Indonesia-Malaysia (2009), Mendaki Kantung Matamu (Ultimus, 2010), Istri Tanpa Clurit (Ultimus 2012), Dada Tuhan (Komunitas Malaikat, 2013), Akulah Musi, Air Akar (Gramedia, 2012), dll.Tahun 2005 cerpen berjudul Istri Tanpa Celurit menang dalam sayembara menulis Cerpen Nasional. Pada tahun yang sama menjadi duta kesenian dalam misi kebudayaan ke Malaysia. Tahun 2010 mendapat Pemerintah Kota Tasikmalaya. Buku kumpulan puisinya “Mendaki Kantung Matamu” masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Awards di tahun 2010. Tahun 2012
mendapat penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI sebagai pengagas Gerakan Tasikmalaya Membaca. Pada tahun 2013 Mansukrip Puisinya “Dada Tuhan” merupakan lima besar Jabar Awards. Di tahun 2014 mendapat penghargaan Anugerah Peduli Pendidikan dari Mentri Pendidikan Republik Indonesia. Tahun 2014 naskah lakon sunda bertajuk “Hak Peto” menjadi naskah favorit terbanyak dipentaskan dalam Festival Drama Basa Sunda di Bandung. Tahun
2015 didaulat menjadi Ketua Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya. Di tahun ini pula diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk menulis Naskah Lakon “Album Keluarga ’65”. Tahun 2015 diundang Tahun 2016 Diundang sebagai pembicara sekaligus pembaca puisi di Kuala Lumpur Malaysia. Tahun 2016 mendapat penghargaan dari pemkot Tasikmalaya. Tahun 2017, beberapa puisinya termaktub dalam antologi puisi Malaysia-Indonesia “Ketika Hitam Dikatakan Putih, Sajak Tetap Bersuara” (Yayasan Obor & ITBM-Malaysia).
Buku terbarunya “Fade Out” (Langgam Pustaka, 2017) kumpulan naskah lakon.