Rory Bennett memarkir ute-nya di tepi lapangan. Pria dua puluh delapan tahun itu berambut cokelat kusut, tangan bernoda bekas cat dari kerja paruh waktu sebagai tukang kayu. Di bak belakang, seekor anjing campuran kelpie-mastiff berdiri dengan mata kuning madu, tubuhnya tegap tetapi tatapannya mempertanyakan. Mojo—nama yang Rory pilih pada malam hujan dua tahun lalu—mengendus angin, telinganya bergerak seirama dengan bunyi kain tenda.