Prolog: Undangan dari Angin Kota
Namaku Ibrahim Naail, masih dipanggil Ib oleh keluarga yang percaya nama panjang bisa menghalangi orang bahagia saat memesan bakso. Setelah Festival Angin dan Sekolah Angin di pulau berjalan, kami—aku, Aishath Sama, Hussain Rilwan, dan Mariyam Fazeela—pulang ke kota dengan perasaan yang aneh: bukan sedih, bukan euforia, lebih seperti habis menutup pintu perlahan agar suara tawa tetap tinggal di dalam.
Suatu pagi, aku menerima surat elektronik berkop “Forum Kota Ramah Jeda”. Aku bacakan keras-keras di ruang Jeda Tengah Minggu di kantor:
“Kepada komunitas Balai Angin & Kata. Kami mengundang Anda menjadi penyelenggara Konferensi Jeda perdana di kota kami. Tema: Angka Kembali ke Manusia. Kami tertarik pada kelas sambal jujur, catatan keuangan ramah jantung, fotografi cahaya yang baik, dan—tolong jelaskan—peran ayam dalam tata kelola emosi.”