Tapi ia menarik tangannya pelan, “Aku nggak cinta kamu, Wulan. Maaf.” (Hal 123-124)
***
Di antara dinginnya hujan dan kehangatan yang pernah ada, sebuah gairah terlarang kembali menyala, meninggalkan jejak luka yang mendalam. Wulan, dengan lekuk tubuh yang memikat setiap mata , mendapati dirinya merajut harap di atas puing-puing hati yang tak pernah sepenuhnya ia miliki. Setiap sentuhan yang ia berikan, setiap kelembutan yang ia tawarkan, seolah hanya bayangan di mata Reza, yang pikirannya masih terpaku pada aroma masa lalu yang tak kunjung pudar.
Kamar kost yang menjadi saksi bisu janji dan keperawanan, kini terasa hampa, dipenuhi bisikan-bisikan gairah yang tak terbalas. Wulan, sang primadona dengan payudara montok dan paha jenjang , berusaha memadamkan api lama dengan bara baru, namun ia tak tahu bahwa bara itu hanya akan membakar dirinya sendiri. Rasa sakit menggerogoti, saat ia menyadari bahwa tubuhnya yang dulu memikat kini tak lagi cukup untuk mengikat hati yang telah lama berlayar.
Reza, terperangkap di antara dua bayangan—satu dari masa lalu yang tak bisa ia lupakan, satu lagi dari ketulusan yang ia abaikan. Pertemuan tak terduga di pasar membawa kembali aroma yang memabukkan, mengingatkan pada setiap desahan dan sentuhan yang pernah menyatukan mereka dalam kegilaan. Sebuah percikan kecil yang dulu dianggap mati, kini kembali memantik gairah yang menyesakkan, menguji setiap janji yang telah terucap.
Di balik gaun pengantin yang sederhana, Wulan menyimpan tanya: apakah ada cukup cinta untuk menutupi bayangan yang terus menghantui? Setiap pagi yang ia mulai dengan harapan, setiap malam yang ia akhiri dengan air mata, menjadi bukti betapa ia tenggelam dalam lautan perasaan yang tak berbalas. Sementara itu, tubuhnya yang sempurna, yang menjadi incaran banyak mata, justru terasa kosong di hadapan suaminya sendiri.
Pelepasan mungkin adalah satu-satunya jalan, meski itu berarti menerima luka yang tak akan pernah sembuh. Dalam duka yang dalam, Wulan mulai mencari kebebasan, bukan dari bayangan Niken, melainkan dari belenggu harap yang terlalu erat ia genggam. Namun, pertanyaan tetap menggantung di udara, seperti bisikan angin di kolam yang sunyi: "Masihkah ada hasratmu 'tuk mencintaiku lagi?"
Pertemuan di Kampus—1
Tinggal Bersama—11
Tekanan Keluarga—19
Malam Terakhir—27
Reza yang Hancur—35
Wulan Mendekat—41
Pernikahan Reza dan Wulan—47
Gairah yang Hampa—53
Wulan yang Terus Berharap—61
Niken Kembali—71
Percakapan yang Tegang—79
Bayang Masa Lalu—87
Wulan Merasa Perubahan—95
Konfrontasi—101
Wulan Mempertanyakan Diri—107
Reza Memilih Pergi—113
Wulan Mengiba—119
Pelepasan—125
Penutup—131
Api di Masa Lalu (Narasi Wulan)—139
Pertemuan Pertama: Bayang di Pintu—145
Jatuh Suka: Getar di Hati—150
Ciuman Pertama: Percikan di Abu—154
Seks Pertama: Darah di Seprai—158
Pernikahan: Janji yang Rapuh—161
Malam Pernikahan: Gairah yang Hampa—164
Bucin Membesar: Kopi dan Hujan—166
Niken Kembali: Retak yang Dalam—169
Reza Pergi: Aku Mengiba—171
Pelepasan: Duka di Kolam—172