Di balik tubuh molek dan senyum profesionalnya, Risma menyimpan rahasia yang lebih panas dari ruang rapat mana pun: tubuhnya bukan sekadar godaan—itu senjatanya. Ia menapaki karier bukan hanya dengan otak, tapi dengan paha, bibir, dan napas tertahannya di kasur para pengambil keputusan.
Perjalanan Risma tak pernah lurus. Di setiap belokan, ada mulut yang menjilat, tangan yang meremas, dan suara orgasme yang bergaung lebih keras daripada tepuk tangan dalam ruang presentasi. Tapi siapa sangka, di antara tetes keringat dan gemeretak ranjang, dia sedang merancang kekuasaannya sendiri?
Bagi banyak perempuan, kerja keras berarti lembur, kopi, dan rapat tiada henti. Tapi bagi Risma, kerja keras berarti tahu kapan membuka kancing, kapan mengangkang, dan kapan pura-pura tunduk demi menjatuhkan. Ini bukan kisah cinta. Ini kisah perang di balik meja kantor dan seprai hotel berbintang.
Apa jadinya ketika gairah bukan pelarian, tapi alat negosiasi? Ketika cinta tak lebih dari selingan di antara kontrak, dan orgasme bukan akhir, melainkan awal strategi? Risma tidak sedang mencari jodoh. Ia sedang menaklukkan dunia—satu kontol, satu mulut, dan satu jabatan dalam satu waktu.
“Risma, Ambisi di Balik Bara Gairahnya” adalah kisah perempuan yang menolak jadi korban, meski tubuhnya sering ditelanjangi. Ia memilih untuk menari di atas bara, membakar siapa pun yang mengira dirinya hanya pemuas. Ini bukan erotika murahan—ini manifesto seorang perempuan yang menjadikan nafsu sebagai peluru terakhirnya.