Rasa malu seharusnya membakarku. Tapi anehnya, tidak ada. Saat aku membuka mata dan melihat sekeliling, aku tidak melihat tatapan menghakimi... Ini bukan tentang seks. Ini tentang penyerahan diri. Dan aku, Bella, baru saja menyerahkan diriku sepenuhnya. (Dari Bab 4: Altar Merah Darah)
***
Di sebuah surga tersembunyi yang memanjakan setiap dosa, Bella tiba sebagai istri yang baik, menggenggam erat tangan suaminya, Galih. Ia datang membawa cinta, kepercayaan, dan sebuah fantasi rahasia yang begitu kotor hingga membuatnya merona setiap kali terlintas di benaknya. Ia berpikir ia tahu apa yang ia inginkan. Namun, saat gerbang kayu itu tertutup di belakangnya, ia menyadari bahwa ini bukanlah tempat untuk berpikir. Ini adalah tempat untuk merasakan, di mana udara pekat dengan aroma kulit, keringat, dan hasrat yang tak terucap, dan setiap pasang mata yang menatapnya seolah sudah tahu bagaimana rasa memeknya saat basah.
Para penghuni vila adalah sekawanan predator indah yang bergerak dengan keyakinan sensual. Para wanita dengan payudara yang sengaja dibiarkan mencuat dari balik kain tipis, dan para pria dengan tatapan yang bisa membuat celana dalam basah kuyup. Mereka melihat Bella bukan sebagai seorang istri, melainkan sebagai sebuah kanvas kosong yang menggairahkan, menunggu untuk dilukis dengan warna-warni kenikmatan. Di mata mereka, Bella melihat cerminan dari sisi dirinya yang paling ia takuti: seorang wanita yang diam-diam merindukan sentuhan asing, yang putingnya akan mengeras bukan hanya untuk suaminya.
Permainan pun dimulai, sebuah ritual lambat untuk meruntuhkan pertahanan. Sebuah sentuhan tak sengaja di punggungnya oleh seorang wanita eksotis. Sebuah pose yang memaksanya untuk menonjolkan bokongnya di hadapan pria asing. Pikirannya menjerit menolak, mencoba mempertahankan citra dirinya, namun tubuhnya adalah seorang pengkhianat. Denyut samar terasa di antara kedua pahanya, dan liang kewanitaannya mulai mengeluarkan embun rahasia, sebuah respon jujur yang tak bisa lagi ia kendalikan.
Hingga akhirnya, malam itu tiba. Di dalam sebuah ruangan yang dilapisi beludru merah darah, di bawah tatapan suaminya yang membara, Bella dihadapkan pada sebuah pilihan: terus melawan atau menyerah sepenuhnya. Saat getaran benda hitam panjang itu mulai merayap di kulitnya, menelusuri setiap lekuk tubuhnya dan mendekati pusat kenikmatannya yang paling sensitif, ia tahu perlawanannya sia-sia. Malam itu, untuk pertama kalinya, Bella berhenti berpikir. Ia berhenti menjadi istri yang baik. Ia hanya menjadi tubuh, indra, dan hasrat murni.
Malam itu, Bella melepaskan segalanya. Ia melepaskan kendali, rasa malunya, dan jeritan yang selama ini ia tahan di dalam paru-parunya. Dan dalam kehancuran total itu, sesuatu yang baru dan berbahaya lahir. Sesuatu yang kini menatap suaminya dengan tatapan lapar yang tak pernah Galih lihat sebelumnya. Pertanyaannya bukan lagi apakah mereka akan selamat dari petualangan ini, melainkan apakah mereka akan selamat dari wanita yang baru saja Bella lepaskan dari dalam sangkarnya.
Contents:
Gerbang Kenikmatan—1
Kolam Para Predator—21
Patung-Patung Bernafsu—35
Altar Merah Darah—53
Janji yang Tertunda—75
Badai di Dalam Surga—91
Cermin Jiwa—109
Fantasi Terucap—129
Penebusan Hasrat—145
Awal yang Baru—165