Di rumah sewaan kecil di Antang, Makassar, malam tidak pernah benar-benar gelap. Lampu jalan memantul pada jendela, membentuk garis kekuningan di dinding. Mika Lesnusa duduk memeluk lutut di lantai kamar, menatap celah di bawah pintu yang menghadap ruang tengah. Sejak mereka meninggalkan Teluk Manggasa, ia hampir tak pernah tidur nyenyak. Rendi—kakaknya—masih tinggal bersamanya, tetapi jiwanya seperti terperangkap di ruang yang tidak bisa dijangkau kata-kata. Ia jarang bicara, sering menggumam pelan seolah menyahuti seseorang yang tidak terlihat.