Malam itu di Mykonos, ketika angin meltemi seperti anak panah yang lepas dari busurnya, Eirene jatuh cinta pada laut untuk kesekian kali. Ia bukan gadis yang suka menantang badai; ia seorang ibu yang hafal nama setiap bintang dan nama setiap ketakutan anaknya. Namun, saat radio di dermaga memberitakan sebuah perahu kecil yang oleng di timur, ia meraih jaket kuning, menggenggam kompas perak berbentuk labirin—sebuah warisan keluarga—dan berkata kepada putranya, “Tidurlah, Iason. Ibu hanya pergi sebentar.”