Hujan turun malam itu: bukan badai, hanya hujan yang panjang dan sabar. Pagi berikutnya, Stoyan Petrov berjalan sendirian ke Laždenik. Batu-batu di dasar kolam berkilau, lumut menempel lembut seperti alis orang tua yang sabar. Ia duduk, mendengar. Nada air telah berubah sejak pipa kota berdiri—lebih berat, lebih rendah, seolah-olah sungai belajar mengucap kata-kata baru. Tapi di sela nada berat itu, ia menangkap satu kilau tipis, ting yang rapuh seperti ingatan baru saja dilahirkan.