Di sebuah rumah kayu di pinggiran Antananarivo, Tsiory—pemuda bertubuh kurus dengan mata setajam hujan—membuka kembali peti milik ibunya, Merika. Di dalamnya ada lembaran perkamen tua yang salah satu sisinya pudar, sisi lain dihiasi garis-garis biru yang menyerupai sungai. Di sudut kanan bawah ada lambang kecil: aloalo—totem pemakaman dari barat—digambar hanya dengan tiga garis. Bila diterawang, huruf-huruf kecil muncul samar: “Lalana miverina.” Jalan menuju pulang.Merika pernah berkata sebelum ia meninggal, “Bila angin berubah arah, dengarkan suara bumi. Ia akan menyebut namamu, Tsiory.” Tetapi ayahnya, Hery, tidak pernah membicarakan peta itu. Ia menutup rapat topik tentang petualangan Merika di masa muda, seolah-olah seluruh kenangan bisa dikunci seperti peti itu. Kini, ketika usia Tsiory menginjak dua puluh, gelisahnya tak bisa lagi dibendung.