Ketika kabut masih menempel di pucuk-pucuk waru dan pisang, denting pahat pertama terdengar dari sebuah bengkel kecil di tepi Desa Karangrejo. Pagi itu, seperti berpuluh-puluh pagi sebelumnya, Sastro menyeka telapak tangan pada kain goni, lalu meraba urat kayu jati yang tergeletak di atas meja kerjanya. Urat itu bergelombang, laksana sungai kecil yang meliuk dari hulu ke hilir. Di sela bunyi ayam jago dan sayup kentongan ronda terakhir, ia membisikkan salam pada kayu itu.