Luana Bezerra berdiri di dermaga kayu tua di tepi Rio Negro, memandangi permukaan yang hitam dan tenang. Sinar pagi memantul di antara botol plastik, sandal jepit yang tak bertuan, dan karung-karung karatan yang tersangkut di akar mangrove. Di belakangnya, Kota Manaus baru saja menggeliat. Di depan, sungai itu seperti cermin yang jujur—memantulkan bukan hanya langit, tapi juga kelalaian manusia yang telah lama diabaikan.